Dalam catatan sejarawan Eropa, baik yang bersumber dari Jan Pieterszoon Coen maupun rekan-rekannya yang terlibat dalam upaya genosida Banda pada tahun 1621 menyatakan bahwa genosida terhadap rakyat Banda berhasil dilakukan dalam upaya penguasaan terhadap Pala. Bukan hanya Pala yang dikuasai, tapi penduduk asli Banda (Wandan) pun dikuasai dengan cara dibunuh, ditawan, dan diperbudak. Bahkan, sejarawan, sineas, dan novelis dalam negeri turut pula menyebarkan catatan-catatan tersebut dengan menyatakan bahwa penduduk asli Banda (Wandan) saat ini keberadaannya tidak bisa ditemukan lagi.
Tentu saja, catatan-catatan tersebut dimaksudkan sebagai bagian dari upaya penghilangan jejak penduduk asli Banda demi penguasaan atas kepulauan Banda dan Pala. Praktik semacam ini bukan hanya bermotif ekonomi belaka, akan tetapi dibarengi dengan motif politik. Tujuan utamanya adalah penguasaan atas Kepulauan Banda dengan segala sumber daya yang dimilikinya.
Dalam kaca mata kolonial ketika itu, Kepulauan Banda adalah aset yang harus dikuasai dengan segala cara, termasuk dengan jalan pembumihangusan penduduknya. Sementara dalam kacamata pribumi, Banda adalah aset yang harus dikuasai setelah ditinggalkan oleh kolonial. Praktik semacam ini terpelihara secara baik, karena mental inlander yang diwariskan oleh para kolonial kepada para pribumi hingga kini.
Kondisi tersebut berdampak langsung terhadap eksistensi penduduk asli yang kini masih bertahan hidup di wilayah lain di Nusantara. Dampak ini sangat terasa akhir-akhir ini, karena munculnya berbagai informasi yang bersumber dari berbagai literatur maupun film dokumenter yang menyatakan bahwa keberadaan penduduk asli Banda telah musnah bersamaan dengan genosida yang terjadi 400 tahun lalu.
Ini tentu saja, berdampak secara psikologis bagi keturunan diaspora Banda yang berhasil menyelamatkan diri dari upaya genosida yang dilakukan oleh VOC dan Jan Pieterszoon Coen. Hal ini semacam upaya pembunuhan berkali-kali dengan tujuan bukan hanya sekadar menghilangkan nyawa, tapi juga menghilangkan nama Wandan.
Bahkan dalam catatan sejarah nasional, peristiwa genosida dan perlawanan rakyat Banda terhadap upaya kolonialisasi yang dilakukan oleh VOC tidak ditemukan dalam buku-buku pelajaran sejarah di sekolah. Padahal sejarah munculnya kolonialisme di Indonesia berawal dari Banda. Hal ini semakin menguatkan asumsi bahwa ada upaya menghilangkan Wandan dan manusianya dalam literatur sejarah dunia maupun nasional,
Faktanya, setelah upaya genosida tersebut, orang-orang Banda sebagian kecil diantaranya berhasil menyelamatkan diri menuju berbagai tempat di Nusantara, terutama pulau-pulau di sekitaran kepulauan Banda. Selain pulau Seram, kepulauan Kei pun menjadi tujuan utama untuk menyelamatkan diri dari upaya genosida oleh VOC. Di antara berbagai kelompok yang berhasil menyelamatkan diri, hanya kelompok yang bermukim di kepulauan Kei yang berhasil mempertahankan eksistensi dirinya baik dari sisi budaya, agama, maupun bahasa.
Setelah 24 tahun kemudian pasca peristiwa genosida, yakni pada tahun 1645 Adriaan Dorstman dalam ekspedisinya ke kepulauan Kei, ia menemukan dua pemukiman yang didiami oleh para diaspora yang berasal dari kepulauan Banda, yakni desa Banda Ely, dan Banda Elat.
Kurang lebih dua abad kemudian, tepatnya tahun 1857 Alfred Russel Wallace melakukan ekspedisi ke Kepulauan Kei, dalam bukunya; Kepulauan Nusantara; Kisah perjalanan, kajian manusia dan alam. Ia menggambarkan tentang perbedaan karakteristik orang-orang Wandan dengan penduduk asli Kei, baik dari sisi fisik, budaya, bahasa, maupun kepercayaan yang dianutnya.
Menurut Timo Kaartinen, bahwa pemenang Perang Pala sesungguhnya adalah orang Wandan yang berhasil menyelamatkan diri dikarenakan tidak seperti beberapa masyarakat lain yang disingkirkan Belanda di wilayah lainnya di Nusantara, orang-orang Wandan mampu mempertahankan bahasa dan kedaulatan budayanya. Orang-orang Wandan juga merupakan pemenang dalam arti yang lebih praktikal.