Dalam catatan Sejarah, berabad-abad yang lalu orang-orang Nusantara telah melakukan perjalanan jauh untuk menjalankan ritual ibadah haji di tanah suci Makkah dan Madinah. Beberapa sumber menyebutkan sebagian orang Melayu dan Jawa sudah terlihat di sekitar pantai India sejak abad ke-12. Begitu juga Ibnu Bathuthah yang menyaksikan keberadaan mereka di antara para pedagang di sekitar pantai Malabar tahun 1346 M. Di lain sisi, menurut Shaleh Putuhena dalam buku Historiografi Haji Indonesia, bahwa Ludovico di Varthema sempat menjumpai seorang Nusantara di Makkah pada tahun 1503 M. Akan tetapi, tidak jelas dari mana persisnya laki-laki yang dimaksud oleh Ludovico tersebut; apakah ia berasal dari Sumatra, Jawa, atau wilayah lainnya di Indonesia. Namun Ludovico di Varthema mendeskripsikan orang Nusantara yang dijumpainya itu sebagai "lelaki dari India Timur kecil."
Di masa kolonial, perjalanan ibadah haji mulai diatur oleh pemerintah hindia Belanda. Tentu saja pengaturan tersebut dilatari motif ekonomi dan politik, mengingat pelaksanaan ibadah haji membutuhkan biaya yang cukup besar sehingga pengelolaannya diambil alih oleh pemerintah demi mendapatkan manfaat secara ekonomi, di sisi lain juga pengambilalihan pengelolaan ibadah haji juga merupakan bagian dari upaya kontrol politik bagi jemaah haji yang kritis dan memiliki pengaruh dalam masyarakat.
Beberapa tahun sebelum Snouck Hurgrounje datang sebagai penasihat, secara resmi Gubernur Jenderal Hindia Belanda mengeluarkan Ordonansi Haji pada tahun 1859 yang diundangkan dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie pada 6 Juli 1859 Nomor 42. Undang-Undang tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dan Cina. Maklumat tersebut bertujuan untuk mempertegas peraturan-peraturan yang diterbitkan sebelumnya, namun nyatanya pelaksanaannya belum optimal. Ketidakoptimalan peraturan tersebut bisa dilihat dari tingginya keinginan umat Islam di Nusantara untuk pergi naik haji.
Setiap tahun, jumlah calon jemaah haji semakin bertambah. Misalnya pada 1850, umat Islam di Nusantara yang pergi haji hanya berjumlah 74 orang. Lima tahun kemudian, yaitu pada 1855 jumlah jemaah haji meningkat menjadi 1.668 orang. Dari jumlah tersebut, 860 orang memilih bermukim di Makkah. Lalu pada tahun 1893, masyarakat Muslim di Nusantara yang pergi haji berjumlah 5.193 orang, sementara yang kembali ke tanah air hanya 1.984 orang. (M. Dien Madjid, 2008: 95)
Hal yang sama pun terjadi di wilayah Maluku, orang-orang yang ingin menjalankan ibadah haji harus mendapat izin dari pemerintah kolonial Belanda. Hal ini terlihat dalam laporan Secretary Gewestelijk, J.W.Th. Heiringa kepada Gubernur Maluku, Leonard Hendrik Willem van Sandick (1924-1926) tentang jumlah jemaah haji asal Maluku yang menunaikan ibadah haji ke tanah suci pada periode 1922 -1924. Di mana dalam laporan tersebut tahun 1922 diikuti 172 jemaah, tahun 1923 sebanyak 187 jemaah, dan meningkat cukup signifikan pada tahun 1924 sebanyak 358 jemaah haji.
Dalam catatan keluarga kami, bahwa diaspora Wandan di Kepulauan Kei yang pertama kali menunaikan ibadah haji adalah H. Abdul Rasyid Uar bersama dengan H. Abdul Wahab Latar. Mereka pertama kali melaksanakan ibadah haji pada tahun 1880-an, sebagaimana foto yang dipublikasikan oleh British Museum di mana momen tersebut diabadikan oleh Cristiaan Snouck Hurgronje di halaman Konsulat Jenderal Belanda di Jeddah. Foto ini kemudian terkonfirmasi oleh cucu H. Abdul Rasyid Uar yakni, Bapak Dokus Salamun pada tahun 2019 setelah dipublikasikan oleh British Museum pada tahun 2015.
Setelah keberangkatan jemaah haji pertama diaspora Wandan di Kepulauan Kei pada tahun 1880-an, kurang lebih 20 tahun kemudian diikuti oleh H. Abdul Ridjik Uar bersama dengan anaknya H. Husein Uar pada tahun 1923. Pada tahun ini, menurut laporan Secretary Gewestelijk, J.W.Th. Heiringa kepada Gubernur Maluku, Leonard Hendrik Willem van Sandick, di mana laporan tersebut menyebutkan jumlah jemaah haji asal Maluku berjumlah 187 jamaah haji dan dari kepulauan Kei sebanyak 14 orang termasuk didalamnya adalah H. Abdul Ridjik Uar dan H. Husein Uar dari diaspora Wandan yang bermukim di desa Banda Ely.
Tahun-tahun berikutnya, yakni rentang waktu 1924-1945, diaspora Wandan di Kepulauan Kei selalu terpanggil untuk menunaikan ibadah haji di tanah suci, beberapa di antaranya adalah; H. Abu Bakar Salamun, H. Mumin Latar, H. Enco Borut, H. Butak Rery, H. Abdul Mutalib Rumra, H. Muhamad Lontor. Setelah kemerdekaan bangsa Indonesia, barulah Pemerintah Republik Indonesia menyelenggarakan ibadah haji untuk pertama kali, yakni pada tahun 1948 dengan menyebutnya sebagai Misi Haji I Republik Indonesia. Setahun kemudian, yakni pada tahun 1949 H. Fidin Latar menjadi salah satu Jemaah haji yang berasal dari Kepulauan Kei ikut melaksanakan ibadah haji yang diselenggarakan oleh Pemerintah Republik Indonesia pada musim haji tahun kedua.
Setelah itu, gelombang pelaksanaan ibadah haji pada setiap tahunnya tidak selalu diikuti oleh diaspora Wandan di Kepulauan Kei. Namun pada tahun 1979 menjadi titik awal panggilan pelaksanaan ibadah haji bagi komunitas Wandan yang tidak pernah terputus hingga saat ini. Di mana pada tahun 1979 H. Zainuddin Uwar adalah Jemaah haji yang berkesempatan memenuhi panggilan tersebut.