Secara historis, sejak tahun 1957 pada masa Orde Lama, mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan telah diperkenalkan dengan nama Kewarganegaraan, kemudian pada tahun 1962 menjadi Civics. Saat Orde Baru berkuasa, Civics berubah nama menjadi Pendidikan Kewargaan Negara tahun 1968. Kemudian tahun 1975 Pendidikan Kewargaan Negara kembali berganti nama menjadi Pendidikan Moral Pancasil (PMP). Tahun 1994 kembali lagi terjadi pergantian nama pada mata pelajaran ini, dari Pendidikan Moral Pancasila (PMP) menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn).
Setelah bergulirnya Reformasi pada tahun 1998 yang menumbangkan rezim kekuasaan Orde Baru, maka berbagai tuntunan untuk memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara pun ikut digulirkan, termasuk dunia pendidikan. Salah satunya adalah tuntutan perubahan atas Kurikulum 1994, termasuk di dalamnya adalah perubahan terhadap nama maupun isi materi PPKn. Dan tepat pada tahun 2004, PPKn berubah nama menjadi Kewarganegaraan.
Dua tahun kemudian, yakni tahun 2006, Kewarganegaraan kembali diganti dengan nama Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Berlanjut pada tahun 2013, Pendidikan Kewarganegaraan kembali diganti menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), dan terakhir tahun 2022 PPKn kembali berubah nama menjadi Pendidikan Pancasila.
Tentu saja perubahan nama maupun materi Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia sudah dianggap sebagai hal yang lumrah bagi sebagian kalangan, mengingat mata Pelajaran ini paling rentan terhadap perkembangan dan perubahan kekuasaan di Indonesia. Selain itu juga, Pendidikan Kewarganegaraan dari sisi disiplin ilmu, bukanlah sebuah disiplin ilmu yang otonom sebagaimana disiplin keilmuan yang lain, tetapi merupakan interdispliner dari berbagai bidang ilmu, seperti ilmu politik, ilmu hukum, ilmu sosial, dan humaniora. Akibatnya, sistem pengetahuan (body of knowledge) Pendidikan Kewarganegaraan belum terpetakan dengan baik.
Situasi ini tentu saja tidak bisa dilepas pisahkan dengan kondisi politik pendidikan rezim yang sementara berkuasa. Pendidikan di mata kekuasaan tidak hanya dilihat sebagai bagian upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, tapi lebih dari itu Pendidikan adalah sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan, sehingga kebijakan Pendidikan selalu berubah mengikuti selera kekuasaan.
Perubahan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan menjadi Pendidikan Pancasila dalam Kurikulum Merdeka tidak bisa dianggap sebagai hal yang normal dalam dunia Pendidikan kita, karena secara akademik butuh kajian secara mendalam dan komprehensif, karena mengingat Pendidikan Kewarganegaraan adalah sebuah mata Pelajaran yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu. Hanya saja seperti yang telah dijelaskan, bahwa Pendidikan Kewarganegaraan adalah mata Pelajaran yang rentan terhadap perkembangan dan perubahan kekuasaan, sehingga ketika kekuasaan berganti, maka berganti pula nama dan materi mata pelajaran ini.
Selain karena pergantian kekuasaan, Hal lain yang ikut mempengaruhi perubahan nama maupun materi Pendidikan Kewarganegaraan adalah pandangan sebagian kalangan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan pada kurikulum KTSP dan Kurikulum 2013 tidak banyak mengakomodir materi yang terkait dengan pengimplementasian nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga perlu dilakukan perubahan, baik dari sisi nama maupun materi. Tentu saja perubahan tersebut tidak didasarkan pada kajian akademik, akan tetapi lebih dominan pada motif politik.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2022 Tentang Standar Nasional Pendidikan, dan Permendikbudristek Nomor 8 Tahun 2024 tentang Standar Isi, Pendidikan Kewarganegaraan masih dinyatakan sebagai salah satu mata pelajaran yang wajib diajarkan pada jenjang Pendidikan dasar dan menengah terpisah dengan mata Pelajaran Pendidikan Pancasila. Namun dalam Permendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada Satuan Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah tidak ditemukan lagi mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, yang ada hanya mata Pelajaran Pendidikan Pancasila.
Permendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024 yang menjadi dasar perubahan nama Pendidikan Kewarganegaraan menjadi Pendidikan Pancasila adalah instrumen hukum yang pijakannya berdasar pada pemikiran politik, hanya saja pemikiran politik mesti didukung oleh kajian akademik sehingga mata pelajaran ini bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Mengutip pendapat Winarno, bahwa pemikiran politik yang tidak didukung jalur akademik bisa menimbulkan bias konsep, kesalahan konsep, dan bahkan tidak bisa dijelaskan secara ilmiah. Sebagai contoh lahirnya istilah Pendidikan Pancasila dalam Kurikulum Merdeka tidak memiliki naskah akademik sebagaimana Pendidikan Kewarganegaraan.