Antusiasme elit politik tampaknya sangat menggelora untuk segera menggaungkan hasil revisi RUU KPK guna membatasi ruang gerak KPK dalam menegakkan hukum dan keadilan dihadang dengan undang-undang yang justru menggerogoti hukum dan keadilan itu sendiri.
Demonstrasi besar-besaran tidak hanya terjadi pada 23 September 2019 lalu di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), aksi demonstrasi juga pernah terjadi di negeri ini pada tahun 1998 yang tumpah ruah mengakibatkan lumpuhnya ekonomi Indonesia hingga mencapai titik terendah. Bukan tanpa alasan adanya aksi tersebut, mahasiswa sebagai agent of change saat itu berani mengambil tindakan nyata untuk menjatuhkan rezim Soeharto yang banyak menyalahi aturan sebagai kepala negara. Dari kejadian tersebut, tanduk demokrasi Indonesia mulai bermunculan untuk menggelorakan demokrasi yang transparan dan akuntabel.
Saat ini, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tampaknya sudah tidak sabar menikmati hasil RUU KPK. Bagaimana tidak, semangat dari para elit politik terlihat menggebu-gebu sebelum pengesahan atau selama proses pembuatan RUU KPK itu berlangsung dan menyepakati secara sepihak pengesahan RUU KPK. Di samping mengesahkan RUU KPK, terdapat niat lain didalamnya yaitu melumpuhkan gerakan anti korupsi di negara ini guna kepentingan pribadi. Selesai menghentikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Dewan Perwakilan Rakyat menunjuk calon pimpinan KPK yang baru. Namun, calon pimpinan KPK tersebut memiliki track record yang bermasalah.
Hal tersebut memancing amarah masyarakat Indonesia terutama kalangan akademisi mahasiswa yang menjadi naik pitam terkait RUU KPK yang disahkan DPR karena banyak pasal-pasal yang dianggap bermasalah atau keliru. Antusiasme mahasiswa dalam menggelar aksi di depan Gedung DPR yang awalnya diwarnai dengan aksi damai namun berujung ricuh terjadi karena tidak diberi kesempatan untuk bertemu dengan wakil rakyat mereka. Pemerintah sepertinya fallacy (kesesatan berpikir) terhadap hukum di Indonesia karena kurang melakukan pengkajian secara mendalam. Kesesatan berpikir pemerintah memicu pergolakan di berbagai daerah seperti di Bandung, Palembang, Sulawesi, dan sejumlah kota lainnya di Indonesia.
Pergolakan yang terjadi di berbagai daerah sontak membuat DPR menunda pengesahan hasil revisi RKUHP pada waktu yang tidak ditentukan, namun untuk RUU KPK tetap disahkan DPR. Penundaan pengesahan tersebut bukanlah keinginan rakyat, namun yang rakyat inginkan adalah pembatalan hasil revisi tersebut. Meskipun demikian, elit politik tetap melanjutkan perjalanannya mengesahkan RUU KPK hingga akhirnya disahkan oleh DPR. Adanya dewan pengawas pada tubuh KPK justru akan melemahkan kerja KPK menjadi berantakan. Salah satu mahasiswa yang tergabung dalam aksi tersebut menyatakan, "aksi ini memang benar ditunggangi, tetapi ditunggangi kepentingan rakyat tanpa tedeng aling-aling," (Muhammad Atiatul Muqtadir, Ketua BEM Universitas Gadjah Mada 2019).
Hannah Arendt dalam penelitiannya berjudul The Power Ten of Corrupt: The idea of corruption is a fundamental category of both classical and early-modern republican thought, and is predicated on the belief that politics is a virtuous activity but one always prone to decay, decadence and degeneration. But is fundamentally incompatible with his conception of politics as intrinsically corrupt in itself. Singkatnya, Arendt beranggapan bahwa kekuasaan cenderung korup sehingga sangat memungkinkan seseorang yang mempunyai jabatan tinggi dapat melakukannya demi kepentingan pribadi.
Beragam aspirasi yang dilontarkan para mahasiswa dalam menyerukan aksinya tersebut dengan menolak hasil revisi undang-undang dan menjadikan KPK sebagai lembaga antirasuah yang independen berjuang menangani problematika negara terutama dalam kasus korupsi yang melibatkan para elit politik/ petinggi negara lainnya yang menyelewengkan kekuasaan untuk memperkaya diri.
Dewan Perwakilan Rakyat yang seharusnya menjadi mandataris rakyat justru menjadi musuh bagi masyarakat karena sikap yang diambilnya diduga tidak pro rakyat. Pertimbangan dan pengkajian secara mendalam dalam menentukan pasal harusnya diimbangi dengan logika dan keadilan yang seadil-adilnya. RUU KPK di sahkan, bukan tidak mungkin koruptor akan merajalela dan membawa angin segar bagi napi koruptor di Indonesia. RUU KPK di sahkan, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah tentu akan berkurang.
Dengan di sahkannya RUU KPK, bukan tidak mungkin hal itu akan berdampak pada sektor ekonomi dan masyarakat. Korupsi membuat alokasi sumber daya jauh dari kepentingan publik, kepentingan bersama, dan kepentingan rakyat. Kekayaan sumber daya ekonomi termasuk sumber daya alam tidak akan mampu menyejahterakan rakyat bahkan sebaliknya malah memarjinalkan rakyat. Jika sudah terkena OTT, elit politik bak seperti lempar batu sembunyi tangan, saling menyalahkan satu sama lain yang akhirnya merembet seperti api yang disiram minyak.
Indonesia sebagai negara peringkat ketiga yang dijuluki negara paling demokratis setelah Amerika Serikat dan India sepertinya tidak sesuai dengan relaita, masih lemah dan semrawutnya birokrasi yang dijalankan belum menunjukkan hasil yang berdampak bagi elit politik maupun masyarakat. Indonesia perlu merumuskan pematangan birokrasinya dalam hal preventif dan represif bagi kepentingan seluruh elemen masyarakat.
Menurut pendapat saya terkait persoalan-persoalan ini, terdapat tiga spekulasi yang medasari buah pikir saya terhadap RUU KPK. Pertama, media-media seperti televisi, koran, radio, dan lain sebagainya sengaja menggoreng isu kepada masyarakat agar masyarakat aware terhadap tubuh KPK yang segera digerogoti oleh hasil revisi undang-undang yang disahkan DPR, media membuka jalan pikir masyarakat agar terbuka dan ikut berkontribusi menggelorakan membela KPK atas revisi udang-undang tersebut yang dinilai melemahkan kerja KPK yang disajikan dengan fakta dan data di lapangan. Kedua, DPR yang seharusnya menjadi mandataris rakyat justru menjadi musuh dalam selimut bagi masyarakat untuk kepentingan pribadinya. Ketiga, syahwat kepentingan DPR terhadap RUU KPK yang akan menghalangi jalan KPK dalam memberantas korupsi di tubuh pemerintahan/elit politik karena terdapat dewan pengawas didalam tubuh KPK.