Lihat ke Halaman Asli

Mempertahankan City Walk di Kota “The Spirit Of Java”

Diperbarui: 2 Oktober 2015   08:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Pejalan kaki sedang beraktivitas di City Walk Jalan Slamet Riyadi Kota Solo (sumber: http://infocarfreeday.net)

Kota dengan julukan “The Spirit Of Java” memang layak diberikan kepada kota kelahiran saya ini, yaitu Kota Solo atau dikenal pula dengan nama Kota Surakarta. Kota yang mampu memberikan inspirasi dan makna mendalam mengenai kebudayaan jawa di tanah air. Kebudayaan jawa di Kota solo antara lain berupa pelestarian batik sebagai pakaian khas orang jawa, bahasa jawa sebagai bahasa wajib di hari jumat, ornamen dan hiasan taman-taman kota yang didominasi dengan ukiran khas jawa, serta masih bertahannya tarian tradisional berupa tarian bedhaya dan srimpi. Hidupnya kebudayaan jawa di Kota Solo ini mampu mengantarkan Kota Solo sebagai salah satu anggota kota-kota warisan bersejarah didunia.

Kebudayaan jawa sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kultur jawa, salah satunya adalah nilai “Nguwongke wong” atau memanusiakan manusia, nilai ini kemudian dibawa dalam penataan tata ruang kota di masa pemerintahan Bapak Ir. Joko Widodo, saat menjabat sebagai Walikota Solo sebelum menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta dan pada saat ini sebagai Presiden Republik Indonesia.

Tata Ruang Kota Solo yang dirancang dan diimplementasikan dengan tujuan “Nguwongke wong” adalah adanya ketersediaan ruang publik dalam bentuk pedestrian. Ruang publik tersebut dikenal dengan nama City Walk, yang dibangun pada tahun 2007. Salah satu segmen City Walk yang menarik berada di sepanjang selatan Jalan Slamet Riyadi, jalan utama yang membelah Kota Solo dari barat ke timur. Menjadi semakin bermakna karena di sepanjang sisi kanan dan kiri Jalan Slamet Riyadi banyak ditemukan kantor, perbankan, pusat perbelanjaan, musium dan gedung bersejarah.

City Walk Jalan Slamet Riyadi diperuntukkan untuk memanusiakan manusia, dalam artian ruang publik ini difungsikan untuk memanusiakan para pengguna jalan khususnya para pejalan kaki, difabel, maupun pengguna ontel (sepeda). Sesuai dengan rencana fungsi City Walk sebagai ruang publik dalam Master Plan Tata Ruang Kota Solo. Ruang publik dalam bentuk koridor pejalan kaki dan juga sebagai akses keluar masuk alat transportasi dari penghuni disekitar ruang publik ini.

City Walk didesain sebagai ruang publik untuk mewadahi kegiatan sosial dan budaya bagi pejalan kaki, dengan fasilitas tambahan berupa fasilitas Wi-Fi, seating group untuk istirahat berupa meja dan kursi dengan ukiran khas jawa, dibeberapa titik terdapat naungan untuk tanaman merambat, serta sepanjang kanan dan kiri koridor dilengkapi pohon-pohon rindang dan taman-taman yang indah. City Walk menjual keindahan kota dan tidak didesain sebagai tempat pemanfaatan ekonomi, keberadaannya sebagai salah satu ruang publik ikut mempertahankan Kota Solo meraih penghargaan Adipura hingga saat ini.

Awal keberadaan fasilitas ini sangat diminati oleh masyarakat Kota Solo, banyak diantara mereka memanfaatkan City Walk sebagai arena interaksi sosial sesama pejalan kaki, atau hanya sekedar istirahat dan memanfaatkan fasilitas Wi-Fi. Namun seiring waktu keberadaan City Walk mulai beralih fungsi menjadi arena berjualan bagi pedagang kaki lima yang secara tidak permanan mendirikan lapak dibadan koridor terutama saat siang hari dimana transaksi pedagang dan pembeli banyak terjadi, dibeberapa bagian nampak digunakan sebagai arena parkir.

Alih fungsi pemanfaatan City Walk ini menandakan bahwa kesadaran masyarakat akan manfaat City Walk untuk interaksi sosial mulai memudar, atau beberapa masyarakat mulai berfikir untuk mengambil untung secara ekonomi dari letak City Walk yang ada dijantung Kota Solo. Pemerintah daerah Kota Solo agaknya mulai menyadari hal ini, dan mulai membuat solusi pengendalian dan pengembalian fungsi City Walk, contoh akhir-akhir ini dengan dilakukannya razia ketertiban bagi pedagang kaki lima dan parkir di badan City Walk, serta adanya spanduk peringatan bagi masyarakat untuk tidak memanfaatkan badan City Walk sebagai tempat berdagang.

Tindakan pemerintah daerah ini sudah tepat, dan perlu dilakukan secara rutin, agar tetap terkendali dan tertib. Namun ketertiban pada masyarakat untuk tidak memanfaatkan secara ekonomi pada badan City Walk ini tidak akan berlangsung lama, masyarakat merasa takut dan bersembunyi hanya saat terjadi razia saja, bukan berdasarkan kesadaran bahwa alih fungsi pemanfaatan City Walk ini termasuk tindakan yang tidak semestinya, bahkan dapat dijatuhi hukuman.

Membangun kesadaran masyarakat Kota Solo akan pentingnya ruang publik terutama keberadaan City Walk tidak hanya sekedar dengan teguran, hukuman, razia pada lapak atau lahan parkir. Namun lebih terpenting adalah membangun kesadaran dan keperdulian masa depan City Walk dengan penguatan nilai kebudayaan jawa “Nguwongke wong”. City Walk adalah milik publik dan secara kodrati sesama manusia kita harus saling menghormati, tidak hanya menghormati masyarakat yang ada saat ini namun juga peradaban generasi yang akan datang.

Ilustrasi: Tiga aktivis pejalan kaki sedang mengkampanyekan fungsi City Walk di sepanjang Jalan Slamet Riyadi Kota Solo (sumber: http://www.solopos.com)
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline