Lihat ke Halaman Asli

Bukan karena Miskin, Seseorang Mengemis

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tidak semua pengemis adalah orang miskin. Dua pengemis, Walang bin Kilon, 54, dan Sa’aran, 60, adalah bukti nyata. Mereka justru merupakan jutawan yang menyimpan uang cash puluhan juta rupiah. Bahkan, mereka sudah membayar uang muka untuk ibadah haji pada 2019 sebesar Rp. 30 juta. (Jawa Pos, 29 November 2013)

Hasil dari mengemis memang sangat menggiyurkan. Bayangkan saja, hanya dalam waktu belasan hari, seorang pengemis sudah bisa mengumpulkan uang Rp. 4 juta. Setiap harinya ia bisa saja mendapat uang Rp 100 ribu hingga Rp. 200. Bahkan, saat hari-hari besar dalam sehari ia bisa meraup Rp. 1 juta. Belum lagi jika hari mereka mengemis adalah hari-hari di bulan Ramadhan, yang umumnya membuat umat Islam lebih sering bersedekah, karena menginginkan pahala yang berlipat ganda. Namun siapa menyangka jika ternyata, penghasilan pengemis pun kian berlipat ganda.

Pak Walang dan Kakek Sa’aran mungkin hanya dua pengemis diantara ribuan pengemis lain, yang biasa kita temukan di sekitar trotoar, tempat makan, pasar, dan tempat-tempat publik lainnya. Rela ‘bersandiwara’ demi meraup segepok uang. Walau harus berjalan kaki berpuluh-puluh kilometer atau terbakar matahari. Asal bisa mengumpulkan setumpuk uang untuk dibawa pulang, ‘sandiwara’ itu hanyalah hal kecil.

Pengemis sudah menjadi patologi (penyakit) sosial. Meski pengemis selalu dikaitkan dengan kemiskinan ekonomi, namun nyatanya tidak semua pengemis adalah orang miskin. Kegiatan mengemis dan meminta-minta itu nyatanya juga bukan hanya karena alasan keterhimpitan ekonomi atau keterbatasan fisik semata. Akan tetapi hal lain seperti, tradisi suatu masyarakat yang menjadikan pengemis sebagai profesi, kurangnya sumber daya untuk memanfaatkan dan mengembangkan peluang yang ada, dan kondisi musiman, bahkan juga kebijakan pemerintah menjadi faktor lain penyebab orang memilih menjadi pengemis.

Ada juga faktor terpenting lainnya yang menjadikan seseorang rela menjatuhkan derajatnya menjadi pengemis. Dia sudah kehilangan nilai-nilai yang menjadi pegangan dalam hidupnya dan kemauan untuk berusaha serta bekerja keras melakukan hal lain yang lebih mulia. Kita bisa mengambil contoh dari perkataan pak Walang saat diminta untuk tinggal di Panti Sosial. "Saya nggak mau ke panti, ya mendingan ngemis begini. Dapat uang banyak," (suarapembaruan.com, 29 November 2013). Motivasi dan mental untuk bekerja keras pun hilang, hanya karena ada cara lain yang bisa menghasilkan tumpukan uang dalam waktu singkat.

Setiap perbuatan, gerakan, dan tingkah laku manusia itu pada dasarnya merupakan akibat dari tenaga-tenaga yang keluar dari dalam dirinya, yang disebut usaha. Usaha ini muncul dari dalam diri manusia, dan ditampilkan keluar dalam berbagai macam bentuk tingkah laku. Tingkah laku ini pada umumnya merupakan pengarahan diri ke arah sesuatu yang bermanfaat dan baik, dan penghindaran diri dari segala sesuatu yang merusak dan merugikan. Dalam setiap usaha juga terdapat pelahiran, pemakluman, pembukaan, pendesakan atau pelandaan keluar, menuju ke suatu arah dan tujuan, dan disertai keinginan pada sesuatu yang akan dicapai karena dianggap bernilai.

Hilangnya nilai-nilai kehidupan sebagai pegangan hidup dan kemauan untuk berusaha, akan melahirkan individu-individu yang malas untuk berjuang dalam hidupnya. Karena kemauan dalam diri manusia pada dasarnya merupakan dorongan keinginan untuk merealisasikan diri, mengembangkan segenap kemampuan dan untuk meningkatkan taraf kehidupan. Kemauan juga merupakan tenaga pengarah pada pemilihan nilai-nilai, sekaligus juga menjadi pendukung dari aktivitas susila atau perbuatan-perbuatan baik, serta menghindari perbuatan jahat. Jika kemauan itu kurang disadari maka kehendak sampingan yang kecil dan tidak pokok akan berkuasa dan menentukan tingkah laku, hal inilah yang terjadi pada para pengemis tersebut.

Mereka yang menganggap nilai uang itu tinggi, tapi tidak disertai dengan usaha dan kerja keras untuk mendapatkannya, hanya akan melakukan hal kecil yang tidak membutuhkan modal banyak, baik berupa tenaga maupun materi untuk melakukannya. Namun tidak sedikit ternyata kegiatan mengemis itu yang telah dijadikan sebagai sesuatu yang bernilai komoditas demi mendapatkan uang. Eksploitasi besar-besaran terhadap belas kasihan adalah produk utama dari komoditas ini. Bahkan tidak jarang pula ditemui pengemis-pengemis yang diorganisir oleh oknum tertentu, hingga oknum tersebut memiliki kekayaan dari para pengemis yang dikelolanya. Inilah yang kemudian menjadikan kegiatan mengemis sebagai patologi sosial.

Para pengemis itu sebenarnya bukan miskin materi, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang miskin mental dan motivasi. Mereka yang lebih memilih kegiatan meminta-minta sebenarnya bukan sedekah yang mereka butuhkan, akan tetapi motivasi untuk membangkitkan kemauan dan semangat untuk melakukan pekerjaan lain yang halal dan lebih mulia, serta tidak menularkan penyakit atau jiwa pengemisnya pada orang lain. Jika kemauan untuk berusaha dan bekerja dengan keringat sendiri telah ada, maka akan menjadi mudah mengarahkan dan memasukkan kembali nilai-nilai kehidupan yang telah hilang dari diri mereka, serta menyediakan lapangan pekerjaan baru yang halal dan mulia terhadap mereka. Karena berusaha, meski hanya dengan pendapatan yang pas-pasan akan lebih terhormat daripada hanya menengadahkan tangan meminta belas kasih dan kucuran rejeki dari orang lain. Dan setidaknya, kucuran keringat dan air mata orang yang bekerja, lebih mulia dan lebih bernilai di sisi Allah swt.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline