Dari banyak hujatan, cacian dan fitnah yang ditujukan kepadanya, Prabowo tetaplah harus bersyukur. Dia terlahir dari keluarga pejuang, kaum the have, bangsawan, dan juga berpendidikan tinggi. Margono Djohohadikusumo salah seorang pendiri bangsa yang aktif di BPUPKI dan kemudian dikenal sebagai pendiri Bank Negara Indonesia (BNI). Sumitro Djojohadikusumo, ayahnya, seorang ekonom terkemuka, tokoh penting di era Soeharto, dan dikenal sebagai begawan ekonomi yang kritis terhadap konsep pembangunan rezim Orde Baru. Ketika para ekonom dan teknokrat merapat semua kepada Pak Harto, Sumitro justru mengkritisi pengelolaan anggaran rezim Orde Baru yang disebutnya bocor hingga 30 persen setiap tahun. Padahal waktu itu semua orang tahu, Sumitro adalah besan Pak Harto karena Prabowo menikah dengan Siti Hediati Hariyadi (Titiek), salah seorang putri Presiden Soeharto. Bisa dibayangkan betapa tidak mudahnya menjadi Prabowo di saat itu. Di satu sisi, ada orang tua sendiri yang terus-menerus mengkritisi sang mertua, di sisi lain dia harus tetap hormat dan loyal kepada mertua yang juga panglima tertinggi ABRI terkait dengan posisinya sebagai presiden kala itu. [caption id="" align="alignnone" width="591" caption="Tentara cerdas itu bernama Prabowo (Foto: kaskus)"][/caption] Tapi Prabowo tetaplah Prabowo. Kawan akrab aktivis angkatan 66 Soe Hok Gie yang mewarisi kecerdasan dari ayah dan kakeknya serta pernah dinyatakan diterima di kampus bergengsi Universitas Harvard itu sudah bulat memilih berkarir di dunia militer dengan segala resikonya. Toh sebagai menantu Soeharto, apapun yang dilakukannya saat itu tetap dikaitkan dengan sang mertua. Karir militer semoncer apapun tetap dikaitkan dengan peran mertua yang waktu itu menjadi presiden negeri ini. Sampai akhirnya, ketika banyak tokoh politik dan juga militer meninggalkan Soeharto di senjakala kekuasaannya, Prabowo pada posisi yang teramat sulit. Kedekatannya dengan tokoh-tokoh reformasi dan kemudian meminta Soeharto mundur dari jabatannya dianggap sebagai sikap menantu yang kurang ajar. Sementara tak sedikit orang yang sudah merasakan lezatnya kekuasaan menganggap Prabowo tetap bagian dari Soeharto. Pernyataan apapun yang dikemukakan Prabowo ketika terjadi huru-hara di Jakarta tidak dianggap dan selalu dimunculkan sebagai isu yang terus digoreng seperti menjelang pilpres saat ini. Ironisnya, ketika banyak tokoh politik dan militer yang hidup makmur di era Pak Harto menikmati kembali kue kekuasaan di era reformasi, Prabowo justru terpuruk di dasar kesengsaraan. Karena konflik itu pula, dia terpaksa harus berpisah dengan anak isteri yang berpuluh tahun setia menemaninya. Bertahun-tahun Prabowo harus terpenjara dengan tudingan sebagai sosok di balik kerusuhan tahun 1998. Mental Prabowo benar-benar ditempa. Mau tidak mau setelah semuanya berakhir, dia harus belajar bisnis agar bisa tetap survive. Secara perlahan Prabowo pun bangkit dari keterpurukan. Hingga kemudian dia mendirikan partai politik dan berkampanye menawarkan gagasan pembaruan Indonesia. Selesai? Belum. Ketika kekuasaan hampir digenggamnya, kisah-kisah lama tentang Prabowo yang belum jelas kebenarannya jadi senjata paling ampuh untuk menghalau Prabowo. Isu tentang pelanggaran HAM ditujukan kepadanya. Ironisnya, sosok yang mati-matian menuding Prabowo terlibat dalam pelanggaran HAM itu juga patut diduga memiliki persoalan yang sama dalam urusan pelanggaran HAM ketika rezim Orde Baru berkuasa. Apa boleh buat, semua memang sudah resiko dari seorang Prabowo. Jika pun kemudian Prabowo ditakdirkan menjadi presiden di republik ini, maka boleh jadi, itulah cara Tuhan menempa kehidupan seorang Prabowo. Tetaplah rendah hati dan bersyukur, Pak Prabowo!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H