Lihat ke Halaman Asli

@guscholis

segera mendekat, kiamat sudah dekat

Mengamati dan Belajar Menyaksikan

Diperbarui: 13 November 2018   11:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

“Selamat datang di *****, selamat ber****” Kalau tidak mendapatkan ucapan salam, bonus gula pasir 1 kilogram. Saat dahulu penulis penasaran, sampai berapa lama akan bertahan. Ternyata, kenyataan membuktikan. Tidak perlu repot dengan penjelasan. Tak ada lagi sambutan. Tak juga ada pengumuman hukuman. Semua sudah selesai dengan pemasukan yang mengalami peningkatan. Kalau uang menjadi pendahululan, runtuh sudah ketulusan.

Di sebuah ruang tunggu, banyak orang berdampingan, laki-laki dan perempuan. Mereka sendirian dalam keramaian. Tidak tengok kiri dan kanan. Langsung duduk tanpa permisi. Tak lama dari duduk, sebuah benda dikeluarkan. Meskipun berdampingan, tak merasa harus menyapa, apalagi menjadi saudara. Entah siapa, entah apa, entah kabar, entah berita, ia tertawa menikmati kesakitannya. Bukan badan, atau sedikit pikiran, yang sakit adalah jiwanya.

Penulis hanya pihak ketiga. Agak gimana ya, saat seorang memberikan senyuman, sementara lawannya dingin memaku. Penulis ikut terbawa suasana, merasakan indahnya senyuman, dan sakit sekali orang yang membeku. Teori tidak langsung berlaku, karena syarafnya lama terbelenggu. Sayang sekali, telah lama pergi kesempurnaan itu. Pandangan yang tersisa adalah muramnya dunia, karena kabut tak segera berlalu. Wahai pak tua, kenapa menjadi begitu?

Dalam perjalanan, mayoritas kegiatan hanya dua macam: tidur dan menghidupkan alat permainan. Sama saja, baik di kereta atau di bis. Demikian juga di pesawat terbang. Oleh pembuatnya, alat itu diberi status smart phone. Sayang, alat itu tidak mencerdaskan. Yang jelas adalah menghambur-hamburkan waktu dan kesempatan. Plus uang. Kecuali mereka yang menjadikan piranti pintar itu untuk sebuah kebutuhan dan perenungan. Tapi berapa banyak yang demikian?

Hari ini, media sosial menjadi tren baru yang menyibukkan. Sosmed menjadi tuhan baru yang menyingkirkan kemanusiaan. Rasanya, mereka tidak perlu lagi didampingi malaikat pencatat. Video mereka saja yang disetorkan kepada malaikat. Hanya saja, yang tidak eye catching tidak akan ditampilkan. Mereka ingin menampilkan kegembiraan, kesenangan, perbedaan, dan keunggulan. Jadilah malaikat tetap merekam kesedihan dan penganiayaan.

Hari ini, logika yang sehat sedang diacak-acak. Anak membunuh bapak. Ibu membunuh anak-anaknya. Ayah memperkosa anak tirinya. Dosen mengajak kencan mahasiswa. Kyai mencabuli santrinya. Siswa menganiaya gurunya. Entah kemana perginya “jiwa yang sehat di badan yang kuat”. Semua bingung dengan pemberitaan. Apakah kejadian itu mewakili masyarakat secara keseluruhan? Yang jelas, masyarakat kita sudah tidak sehat.

Untuk mengujinya, sederhana sekali. Minta teman untuk mengambil foto kita, kapanpun, dimanapun, dalam kondisi apapun. Ambillah 50 foto dalam sehari, dan pajang di dinding. Hitung berapa yang tersenyum dan berapa foto yang tidak tersenyum. Prosentasekan dengan skala, sebanyak foto yang ditampilkan. Wajah tanpa senyuman, jiwa kita sedang tertekan. Dalam al-Qur’an, senyuman adalah tanda yang sederhana bagi para penghuni surga.

Hari ini, kemanusiaan telah tergadaikan. Ada uang, abang disayang. Tanpa uang, abang ditendang. Di sebuah perkotaan, untuk tahlilan harus mendatangkan santri bayaran. Di perkampungan, amplop menjadi pemanis shalat jenazah. Gotong royong sebentar lagi hilang. Makan bancakan hanya di permukaan. Status kekayaan meruntuhkan kemanusiaan. Hanya sedikit yang masih bertahan, mereka yang berlindung dalam kasih sayang Tuhan.

Rumah sakit banyak didirikan, akibat manusia salah memperlakukan. Banyaknya rumah sakit tidak membuat manusia sehat kembali. Dari namanya saja sudah salah. Diagnosanya pun terbawa salah, perlakuannya semakin salah kaprah. Komponen manusia itu ada tiga, tapi rumah sakit tidak mampu menjamahnya.  Dokter yang bertugas pun tergantung yang menaunginya. Sementara perawat, tidak ada yang benar-benar mencapai hakikat.

Ada ustadz kondang, pintar ceramahi jama’ah. Jadwalnya dimana-mana. Tapi dengan istrinya seperti dengan musuhnya. Sangat tidak pandai membawa diri. Ini belum dikonfirmasi kepada ustadznya. Biarlah waktu yang mengilhamkan kepadanya. Kesannya arogan, meskipun sesekali dihadiri senyuman. Ingin selalu dilayani, kata-katanya seringkali menyakiti. Di depan khalayak menjaga diri, kepada diri sendiri tidak menyayangi.

Ada seorang pesohor negeri, meskipun masih di level provinsi. Namanya dihormati, ceramahnya diminati. Beberapa saat terlindungi, hingga suatu waktu lisannya membanggakan diri. “Peliharalah lisan, suatu saat menjerumuskan. Kalau tidak bisa berkata baik, diam adalah keuntungan.” Bisa jadi, maksudnya menyemangati, tapi harga dirinya tak tertahankan lagi. Ketika uang menjadi panutan, ilmu dan nama baiknya berhamburan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline