Lihat ke Halaman Asli

Saat Partai Hanya Bisa “Berjualan”

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13969378691793399801

Ilustrasi - Demontrasi penegakkan HAM/Kompasiana (Kompas.com)

Di siang yang sesekali mendung, Nadiani (74) berdiri di bawah rindangnya pohon menunggu angkutan umum untuk beranjak pulang. Ia dan ketiga rekannya yang sama-sama berusia sepuh, baru saja menghadiri diskusi di sebuah kantor yang tugasnya mengadvokasi kasus pelanggaran hak asasi manusia, bilangan Menteng, Jakarta, Kamis (3/4).

Semenjak turun dari lantai tiga kantor tersebut, keriput di wajahnya semakin berkerut. Helai-helai rambut putih yang menjuntai dari balik tutup kepala merahnya, sesekali dimainkan mengusir kegelisahan.

Bersama Herlan (77), Edi Sugiarto (68), dan Bedjo Untung (68), Nadiani tak henti membicarakan isi diskusi yang baru saja selesai. Diskusi dengan tema Peran Partai Politik Dalam Pemenuhan Perlindungan dan Penegakan HAM tersebut membuatnya geram dan kecewa.

"Bagaimana saya tidak sedih dan marah, sudah jauh-jauh datang dari Bukittinggi, mereka hanya bisanya jualan tentang partai. Kalau seperti ini, apakah kasus kami bisa terselesaikan?" ucap Nadiani lirih.

Nadiani adalah salah seorang dari lebih kurang tiga juta korban 65/66. Bersama ketiga rekannya, ia mengusahakan datang dari daerah asal masing-masing hanya untuk mendengar seperti apa program dan komitmen partai terhadap penegakan HAM, terutama pelanggaran HAM berat. Ia datang karena memiliki harapan besar terhadap partai di tahun perubahan ini.

Namun, selama dua setengah jam diskusi berlangsung, perwakilan partai yang datang hanya mempresentasikan partai, tanpa sekali pun memberi solusi konkret terhadap penyelesaian kasus HAM. Kalimat-kalimat tanpa solusi seperti: jika terpilih kami akan terus memperjuangkan, kami berharap persoalan segera terselesaikan, kami selalu concern dengan isu HAM, membanjiri peserta selama diskusi.

Sayangnya, kalimat hanya berisi wacana yang semua orang pun bisa. Solusi, konsep, dan model kebijakan terkait pemenuhan, perlindungan, dan penegakan HAM tidak terurai sama sekali.

"Mereka (anggota partai) mungkin tidak tahu bagaimana penderitaan yang kami alami dulu. Bahkan, mereka sudah lupa atau tidak tahu sejarahnya," ucapnya ketus.

Mantan guru Persatuan Guru Republik Indonesia non-vaksentral ini bercerita, 5 November 1965 ia diberhentikan setelah organisasi tempatnya bernaung tersebut dianggap underbow PKI. Selama 12 tahun, ia menjadi tahanan rumah dan harus melapor dua kali sehari. Sementara sang suami, Akhyar Boer (meninggal 10 tahun lalu), mendekam di penjara selama 12 tahun.

Ibu empat anak ini menyampaikan, kalau saja saat itu ia tidak mempunyai bayi berumur enam bulan, ia yakin akan juga dijebloskan ke penjara tanpa diadili. Bertahun-tahun ia berusaha bertahan hidup dan menghidupi anak pertamanya dengan bekerja serabutan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline