Lihat ke Halaman Asli

Baris Yuk

Diperbarui: 17 Juni 2015   09:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Masih ingat peristiwa di Sekolah Dasar dulu? Setiap pagi ibu guru berdiri di depan pintu. Anak-anak berseragam merah putih yang sedang bergerombol dipisah. Laki-laki berbaris di sebelah kanan. Perempuan di sebelah kiri. Tidak ada yang boleh masuk sebelum barisan dibuat rapih. Satu per satu anak maju memperlihatkan kesepuluh jari. Ibu guru memeriksa. Setiap kuku yang tumbuh melewati batas ruas jari harus dipotong.

Barisan itu dibuat setiap hari. Tidak pernah bosan ibu guru merapihkan. Anak-anak pun kadang menurut. Ada waktunya seorang anak berontak. Dengan sabar ibu menenangkan. Baris adalah ritual wajib yang harus dilakukan di sekolah dasar.

Dulu kita tidak pernah tau. Barisan yang dibuat setiap pagi itu untuk apa. Bahkan kita tidak sempat bertanya. Kita terlalu sibuk dengan kuku di ujung jari. Takut kalau sebuah kuku tumbuh kepanjangan.

Ternyata baris itu bukan pelajaran sembarangan. Setelah kita tumbuh dewasa, menjalani hidup yang lebih berwarna, ternyata baris masih ada. Di setiap kesempatan kita dihadapkan dengan momen berbaris. Membeli tiket kereta, kita harus berbaris. Menunggu pintu kereta terbuka, kita pun berbaris. Membeli tiket pertandingan sepak bola, juga berbaris. Mengantri bantuan tunai, pakai baris. Dikalungi medali saat wisuda pun berbaris. Sampai menyalami pengantin di sebuah acara pernikahan harus berbaris.

Sayang pelajaran berbaris dulu baru sekedar ikut perintah guru. Kita berbaris karena takut dimarahi ibu. Kita berbaris agar cepat bisa masuk kelas. Saat ibu guru berpaling, kita serobot posisi teman di depan. Melihat ibu kurang perhatian, kita nyelonong melewati barisan. Kebiasaan itu pun dibawa sampai besar.

Keributan sering terjadi dalam sebuah antrian. Selalu ada biang kerok pembuat kerusuhan. Lihat saja keadaan lalu lintas di setiap jalan. Saat terjadi kemacetan, kebanyakan mobil diam mengantri di belakang, tiba-tiba satu buah mobil nyelonong mencari jalan di pinggiran. Akibatnya pengendara lain ikutan. Yang di depan menjadi tidak sabar. Barisan yang harusnya satu, menjadi dua bahkan tiga. Kemacetan pun bertambah lama.

Cerita kematian dalam barisan sering juga terdengar. Antri menunggu pembagian zakat berujung maut. Saling serobot, seruduk, berujung saling sikut, tendang, dan yang lemah terjatuh. Sudah terjatuh, diabaikan pula. Sudah diabaikan masih juga diinjak-injak. Saat itu empati hilang. Rasa kasihan meluap. Kepedulian hilang. Satu terbayang, mendapatkan bungkusan secepatnya. Hanya tujuan yang tidak seberapa memenuhi kepala, selebihnya dianggap tidak ada.

Padahal kita pernah belajar berbaris. Ibu guru setiap pagi menuntun kita untuk berdiri rapih.

Pelajaran berbaris tidak hanya monopoli sekolah. Di masjid dan mushola pun kita diajari berbaris. Setiap kali sholat akan dilaksanakan, Imam menghadap ke belakang. Dia minta semua jama'ah mengatur barisan. "shafnya dirapatkan, diluruskan, karena itu menjadi bagian dari kesempurnaan sholat berjamaah" demikian imam berujar.

Pelajaran di sekolah sudah didapat. Pelajaran di mushola dan masjid pun diterima. Mengapa masih juga kita kurang rapih dalam hal berbaris?

Sejenak kita tinggalkan fakta menyedihkan tentang kebiasaan berbaris di negara ini. Mari menengok ke tetangga seberang pulau. Tiga hari saya berada di Singapura. Selama itu tidak henti-hentinya saya merasa takjub. Untuk urusan berbaris warga Singapura memiliki nilai A.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline