Lihat ke Halaman Asli

Daging Qurban Nenek

Diperbarui: 13 Mei 2022   15:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

 "Bud, tolong ambilkan jatah daging qurban nenek di masjid. Ini kuponnya. Segera berangkat ya?" perintah nenek Budi.

"Baik, nek," kata Budi sambil memungut kupon dari Panitia Qurban Masjid Al Badar. Tiap tahun, dia mendapat kupon karena termasuk janda miskin.

Tahun ini, hewan qurbannya lebih banyak. Dua ekor sapi dan 12 kambing. Tahun lalu, hanya 8 kambing. "Makanya, yang nonton dan antre kok berjubel gini," keluh Budi dalam hati sambil mengusap keringat dengan ujung-bawah kaosnya.

Setelah menunggu tiga jam, Budi dapat menukarkan kupon dengan daging satu kilogram. Untuk keluar, dia harus menyibak-nyibak kerumunan orang yang membludak. Hanya ada satu pintu. Maka, masuk dan keluar pun melalui pintu yang sama. Akibatnya, dia terhimpit tubuhnya oleh antrean yang berjubel. "Aduh, perutku sakit! Tolong, kasih jalan! Saya tidak bisa keluar!" teriaknya di tengah lautan manusia siang itu.

Perjuangan Budi akhirnya membuahkan hasil. Dia bisa bernapas lega. Berulang kali dia seka keringat di mukanya. Dengan tersenyum, dia jinjing tas kresek hitam berisi daging itu. Langkah kakinya dia percepat untuk segera menyerahkan daging qurban itu kepada nenek.

Baru puluhan meter dia melangkah, matanya tertuju pada Ari, adik kelasnya. Perawakan siswa kelas III itu sangat kurus dan pendek. Hati Budi jadi sangat iba kepadanya. "Bagaimana dia bisa?" ucap Budi lirih sambil membayangkan kesulitan yang akan dihadapi Ari jika mau menukarkan kuponnya.

Budi menghentikan langkahnya penuh ragu. Dia sebenarnya ingin segera menyampaikan daging qurban ini kepada neneknya. Tapi, demi melihat Ari yang sangat mengiris hatinya, dia juga ingin sekali membantu Ari. Sejenak dia berhenti demi menyaksikan perjuangan Ari menembus antrean yang masih panjang dan berjubel.

Sementara itu, Ari hanya bengong saja di barisan paling belakang. Dia tidak bisa berbuat banyak ketika didesak oleh orang atau anak yang lebih besar. Baru saja dia memajukan langkahnya, sudah tidak mampu menahan desakan anak-anak di sekelilingnya yang rata-rata lebih besar. Maka, mau tidak mau dia terpinggir dan balik ke belakang lagi. Begitu terjadi berulang kali.

Dia dekati Ari, lalu berkata, "Kasihan sekali kamu, Ri. Begini saja. Kamu tukar kuponmu dengan daging ini. Biar aku antre lagi dan kamu langsung pulang ya?" usul Budi kepada Ari.

"Wah, terima kasih sekali, Mas Budi!" sambut Ari dengan tawa lebar. Dia pun berjingkrak-jingkrak membawa pulang daging qurban. Budi juga puas bisa menolong tetangganya itu. Beberapa saat dia tersenyum membayangkan kegembiraan Ari, ibu, bapak, dan kedua adiknya yang sedang asyik membuat tusuk sate. Lalu, mereka mengirisi daging qurban hasil antreannya dan dibakarnya menjadi sate. Dengan bumbu buatan ibu Ari, mereka pun menyantap sate daging qurban itu. Budi baru tersadar dari lamunannya ketika terdengar suara ramai di barisan depan.

"Panitia tidak becus! Masak, bagi-bagi daging qurban saja tidak bisa!" teriak salah seorang pembawa kupon sambil mengacung-acungkan kuponnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline