Lihat ke Halaman Asli

Berbahasa dan Unek-unek Saya

Diperbarui: 24 Juni 2015   05:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebanarnya hal ini saya ingin tuliskan kemarin tapi tubuh saya dalam kondisi yang kurang sehat. Kemarin saya belajar tentang bahasa dalam kuliah Psikologi Kognitif, ada fakta-fakta luar biasa yang telah terbukti dari penelitian yang sudah dilakukan, hal ini saya dapatkan dari teman-teman yang menjadi pemateri presentasi. Sumber mereka adalah buku karya Robert L. Solso (2008), fakta-fakta luar biasa bahasa yaitu:


  • Tingkat perkembangan kemampuan verbal manusia melampaui spesies-spesies lain.

  • Struktur semantik memungkinkan manusia mengidentifikasi jenis-jenis ‘benda’ yang tersimpan dalam memori dan bagaimana ‘benda’ yang tersimpan itu saling berhubungan dengan ‘benda’ lain.
  • 20.000-40.000 kata yang diketahui maknanya oleh manusia.
  • Memori kognisi berjumlah lebih besar dalam bentuk verbal

Setelah penjelasan selesai dari para pemateri, moderator membuka sesi pertanyaan. Sebuah pertanyaan datang dari salah satu diantara kami, orang-orang yang menyimak. Pertanyaannya: “ bagaimana asal usulnya nenek moyang kita membuat bahasanya sendiri? bahkan bahasa di dunia ini berbeda-beda sampai jutaan? ” Ketika saya perhatikan pertanyaannya. Saya berpendapat pertanyaannya tidak terkait dengan tema yang didiskusikan hari ini, karena pertanyaan itu lebih pantas tergolong pada aspek Antropologi.

Tapi karena sama-sama cari ilmu, sama-sama berdiskusi, tak ada yang pandai dari siapapun. Apa lagi dosen pengampuh yang biasanya menengahi bahkan memberi batasan jelas terkait jalannya diskusi juga berhalangan hadir. Maka pertanyaan teman itu tetap kami jawab, saya turut memberi komentar, saya bilang “ Ada banyak hal yang bisa menyebabkan hal tersebut, ada budaya, lokasi geografis, iklim dan pada zaman nenek moyang dulu belum ada twitter. Itulah masalah besarnya, mbah-mbah moyang kita tidak memiliki wadah global untuk berdiskusi terkait menamakan atau membahasakan sesuatu benda, misalnya dulu ada twitter kan jadi enak, misalnya di amerika foto salju terus di upload, habis itu mention ke mbah kita di Indonesia, mereka enak diskusi memutuskan namanya, bisa jadi kita sekarang gak kenal salju yang ada snow, atau salnow gabungan salju dan snow ” Kawan-kawan yang menyima, mereka tertawa. Itu tanda saya sukses menarik atensi mereka.

Saya lanjutkan berpendapat “ Twitter yang saya maksudkan simbol dari komunikasi. Hari ini kita mengenal nama sebuah benda dengan global. Awal dulu 2000an ketika internet belum menggila seperti sekarang, bahasa yang kita gunakan untuk menamakan sebuah benda yang sama itu berbeda, nama pengirim file dulu dari handphone ke handphone yang terkenal dengan infra red, itu bahasa inggerisnya, ketika di bahasa indonesiakan namanya infra merah. Sekarang era yang lebih modern dan moderat, nama pengirim file dari handphone ke handphone, di Inggris maupun Indonesia tetap sama disebut Bluetooth. Kenapa tidak disebut biru tut? Memasuki era yang lebih modern juga bahasa kita juga melakukan penyerapan-penyerapan dari bahasa lain seperti sekuriti yang berasal dari security dan banyak lagi ” Hening. Lalu orang satu persatu menambahi komentar terkait pertanyaannya tersebut.

~**~

Mengapa kita mampu memahami banyak bahasa yang berbeda? Karena terjadi pengalaman interaksi dengan bahasa yang berbeda itu. Hal yang kita ketahui adalah orang belajar juga dari pengalaman dan yang belum kita ketahui dengan luas adalah pengalaman mengubah sistem saraf yang mengarah ke suatu dasar neurologis bagi representasi pengetahuan (Solso, 2008). Pengetahuan membutuhkan bahasa yang tepat untuk mengetahuinya. Ada yang bernama struktur simentik pada proses kognitif manusia yang membuat kita mampu mengidentifikasi makna suatu kata sebelum menyimpannya pada memori dan mengetahui informasi dari kata tersebut. Disinilah alasan mengapa psikologi Kognitif menjadikan verbal sebagai satu tema bahasannya.

Dan sebagai penutup, Bahasa menurut saya adalah produk budaya, bahasa adalah sarana komunikasi dan bahasa adalah hasil dari kesepakatan, jadi bahasa itu tak ada bakunya untuk berinteraksi, yang jelas ada pemahaman. Pemahaman tentang kaidah-kaidah berbahasa itu wajib tapi untuk menggunakan kaidah itu untuk berbicara/berkomuniksi dengan orang lain itu sunnah, yang jelas sopan dan ya itu tadi, ada pemahaman. Bukankah ada banyak bahasa selain verbal? Ada bahasa isyarat, bahasa tubuh dan tentu bahasa hati. Bahkan firasat dan mimpi pun itu adalah bahasa menurut saya, firasat itu cara alam berbicara dengan kita sedangkan mimpi cara Tuhan berdialog dengan kita, sayangnya kita terkadang tak peka. Bersyukurlah jadi manusia yang bisa mememiliki banyak bahasa. Tuhan memang Maha asik.

Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline