Kususur kembali wajahmu dari lapik-lapik debu terminal. Bermula dari uap asin angin payau terminal Lhokseumawe, mengendus ke Krueung Geukuh, melompat ke harum sate Matang Glumpang Dua, meruyak dalam himpitan plastik kripik pisang di Bireuen, tersaruk-saruk dalam asap RBT di Samalanga, menggelinding dalam selang pom bensin Ulee Gle, timbul tenggelam di tambak-tambak tua Trienggadeng Panteraja, hingga akhir tersuruk pilu di Sigli yang dikerubung debu siang itu.
Ya, terminal Sigli. Di bekas lautan payau dan hutan bakau, terminal itu menggelinjang-gelinjang dibakar terik matahari siang itu. Sungguh, ini terik sangat pedih, hingga wajahmu yang tersembunyi di balik lapik debu mengerinyit keras sekali, hingga wajahmu yang beranjak tua kelihatan semakin renta. Lusuh dan kusut-masai.
Dalam kepungan debu yang berpusar di terminal itu, aku disentak oleh sebuah tawa dari suara lama. Seorang karib melambai-lambai tangannya dari jendela bis antar kota. Kudekati dia. Tanpa basa-basi langsung kucecar karib itu :
“Dari mana?”
“Sana!”
“Mau kemana?”
“Sana!”
“Selamat jalan!”
“Selamat tinggal!”
Sepotong nian cakap yang terucap saat itu, karena alamku, karena alammu hanyalah alam terminal, sehingga sekejap pula terminal-terminal itu mengunyahku dan mengunyahmu. Lalu sekejap kemudian kau dan aku dimuntahkannya lagi untuk melata lagi dari satu terminal ke lain lagi terminal.
Wajahmu yang layu tersipu-sipu menatap wajahku. Wajahmu dan wajahku sama-sama memburam dalam baluran debu panas siang itu. Wajahmu dan wajahku luruh dan tersapu sekeping-sekeping. Ketika itu remah-remah wajahmu dan wajahku masih di Sigli, ketika terminal itu menggelegak, berbuncah-buncah; mengeram, memendam didih pedih bara siang, menggigit perih tembus ke tulang.
Karena ini ziarah, maka sekejap nian cengkrama kau dan aku di terminal-terminal!
Aceh | Sigli, 1 Juli 2007
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H