Lihat ke Halaman Asli

Saifoel Hakim

Freelancer

Ken Angrok - 6

Diperbarui: 25 Juli 2023   22:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok Pribadi

Hancurnya Cita-cita

Dua minggu setelah berpisah dengan Bramantyo, Ken Endok tampak termenung sambil menangis di kamar mandi pagi ini setelah Gajah Para berangkat pergi. Bumi tiba-tiba seperti runtuh dan membenamkannya di kubangan lumpur hitam ketika dia lihat 2 garis di alat test kehamilan muncul perlahan. Tubuhnya lemas dan terduduk di lantai kamar mandi yang basah sambil matanya tak berkedip melihat test-pack di tangannya. Air matanya mengalir. Pikirannya berkecamuk. 

Dua-tiga hari yang lalu, dia merasakan pusing dan perut yang mual tetapi tidak bisa muntah. Sebelumnya, dia mendapati dirinya tidak mengalami menstruasi pada saat yang seharusnya. Dia pun ingin memastikan bahwa itu bukanlah pertanda hamil sehingga dia membeli test pack kehamilan. Sekarang ketika kenyataan itu tampak didepannya, dia pun kebingunan. Kepada siapa harus bicara? Bagaimana sakitnya Gajah Para? Bagaimana murkanya Bapak nanti jika tahu ini semua? Dalam tangis kesendiriannya itu, hanya wajah ibunyalah yang terlintas. Pelahan dia berdiri, dalam benaknya ingin segera lari kedalam pelukan Ibunya.

Keluar dari kamar mandi, Ken Endok segera berganti baju. Kemudian dia siapkan makan siang Gajah Para lalu keluar rumah. Dia menitipkan makan siang Gajah Para pada tetangganya yang juga biasa mengirim makanan untuk suaminya di sektor yang sama. "Tolong mbak, sampaikan ke Mas Gajah Para, saya harus ke rumah Ibu karena tadi ada pesan dari tetangga di Pangkur, katanya saya dipanggil Ibu. Mungkin sampai sore saya baru kembali," kata Ken Endok pada tetangganya berbohong. Mendadak dia tidak berani bertemu Gajah Para saat ini.

Ken Endok lalu naik angkot menuju rumah Ibunya di Pangkur. Sebetulnya, jarak rumah dia di Pangkur dari Campara tempat tinggalnya ini tidak terlalu jauh namun harus sedikit berkeliling karena hanya ada satu jembatan untuk menyeberangi sungai yang memisahkan Campara dan Pangkur. Rumah orang tua Ken Endok tepat di pinggir jalan yang memang dilalui anggkutan umum pedesaan. Namun bagian belakang rumahnya itu berada di pinggiran sungai, mungkin hanya berjarak sekitar 4 meter dari batas sungai.

Memasuki halaman rumahnya, Ken Endok melirik ke gudang tempat penyimpanan gamelan dan properti untuk pertunjukan Wayang Kulit. Gudang itu terlihat kosong dan tidak terlihat para punggawa ayahnya. Hal ini sedikit membuat lega Ken Endok, ayahnya pasti sedang tidak berada di rumah. Dia langsung berjalan ke belakang melalui samping rumah menuju dapur. Dia berpikir pasti ibunya sedang memasak pada jam-jam seperti ini.

"Eh..., kamu to Ndhuk? tumben ko tiba-tiba muncul. Ada kabar apa Ndhuk?" kata ibunya saat Ken Endok membuka pintu dapur dan langsung masuk. Ibunya pun kaget saat Ken Endok mendekat langsung menyungkur sujud dikaki ibunya sambil menangis. "Ada apa to Ndhuk? Ayo sini bangun...," kata ibunya sambil mengangkat Ken Endok dan memapahnya masuk ke kamar.

Ken Endok terus menangis dipangkuan Ibunya yang duduk dipinggir tempat tidur. Ibunya dengan sabar mengelus-elus rambutnya menunggu Ken Endok bisa menguasai emosi sedihnya. "Ibu, saya minta ampun... ampun Bu...," sesenggukan Ken Endok mencoba bicara.

"Iya Nduk... sabar, ada apa to? Gajah Para nyakiti kamu?" kata Ibunya penasaran.

"Bukan Bu..., saya yang sudah menyakiti dia." sahut Ken Endok sudah mulai tenang.

"Lho..., ko bisa? ada apa?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline