BULAN suci Ramadan akan tiba di awal mei ini, biasanya diikuti dengan kenaikan 'harga'.
Naiknya harga komoditas ini secara konsep disebabkan oleh shortage (kekurangan) pasokan baik secara nyata ataupun artifisial (barang ditimbun) dan karena adanya kenaikan permintaan (juga dapat nyata maupun artifisial karena kekhawatiran terjadinya shortage --- kenaikan harga sehingga menciptakan panic buying).
Peristiwa stabilitas harga merupakan salah satu hal pokok yang diwaspadai pemerintah. Para produsen kebutuhan pokok, sebagian merupakan perusahaan terbuka (Tbk), yang masuk dalam kelompok subsektor makanan dan minuman (sektor 5.1) dan sebagian lainnya masuk pada subsektor perdagangan eceran (sektor 9.3).
Dengan demikian, menjadi menarik untuk melihat bagaimana potensi pergerakan harga saham dari kedua subsektor tersebut jika dikaitkan dengan fenomena Ramadan. Terdapat beberapa saham yang termasuk subsektor 5.1 dan 9.3 ini. Penulis mengambil contoh Ramadan tahun 2014 dan 2015 dengan waktu berkisar seminggu sebelum Ramadan, saat Ramadan; dan seminggu sebelum Idul Fitri.
Saham yang dipilih (random) adalah Indofood (INDF), Mayora (MYOR), Sari Roti (ROTI), Alfamart (AMRT), Ace Hardware (ACES), HERO, serta IHSG sebagai pembanding umum. Kinerja saham tersebut sebagai berikut: per tama; seminggu sebelum Ramadan sampai dengan 1 Ramadan tahun 2014 (2015) masingmasing untuk emiten di atas memberikan pengembalian (capital gain/ loss) sebesar: -1.8% (3.01%); 0.3% (-0.78%); 2.1% (-4.60%); 3% (11.76%); 1.7% (0.78%); 3.5% (2.63%); 0.7% (0.34%).
Kedua; kinerja 1 Ramadan sampai dengan seminggu sebelum Idul Fitri tahun 2014 (2015) adalah: 5.2% (-4.38%); 1.3% (4.74%); -7.7%(- 4.60%); -1.9% (11.76%); 4.5% (0.78%); 6.4% (2.63%); 4.4% (-1.74%).
Dari data di atas apa yang dapat disimpulkan? Secara umum, kecuali untuk ACES dan HERO, maka tidak ada konsistensi bahwa harga saham tersebut akan mengalami kenaikan (capital gain), dan juga besarnya deviasi kinerja saham antaremiten tersebut, dimana ada yang mengalami kerugian lebih dari 4% (INDF, ROTI, 1-23 Ramadan 2015) hingga mengalami kenaikan lebih dari 11% hanya dalam waktu seminggu (AMRT).
Dengan demikian, pemilahan emiten, kejelian mengamati situasi dapat saja menjadi faktor penentu untuk mendapatkan laba. Bagaimana dengan saham penyelenggara transportasi (udara) yang juga sibuk pada bulan Ramadan?
Untuk hal ini kinerja Garuda Indonesia (GIAA) ternyata juga tidak wah. Pada 2014 (2015) sebelum Ramadan memang mengalami kenaikan harga sebesar 1.44% (1.58%), namun data Ramadan hingga menjelang Hari Raya kinerjanya 2.13% (-3.12%).
Dengan demikian tidak seluruh situasi tersebut membuat harga saham Garuda naik. Belakangan ini harga saham GIAA sempat menembus 500-an, walau kemudian turun lagi (saat artikel ditulis berkisar 494). Naik atau turunnya harga saham ini, apakah respons terhadap informasi berkenaan dengan 'sanksi' bagi pesaingnya?
Jika ya, maka investor dapat menduga tingkat perubahan harga sesuai dengan peluang terjadinya sanksi tersebut. Perlu ditegaskan di sini, pasar saham dapat bergerak 'lebih cepat dari angin' karena dapat berubah tanpa tiupan isu apapun!