Lihat ke Halaman Asli

Said Kelana Asnawi

Dosen pada Institut Bisnis dan Informatika Kwik Kian Gie

CSR Perbukuan vs Matinya Sang Profesor

Diperbarui: 3 April 2019   09:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Seorang profesor di Universitas Indonesia memperkenankan naskah bukunya yang difotocopy, karena naskah itu batal dicetak oleh penerbit dengan alasan, pembaca atau pembeli buku kini sudah sangat sedikit.

Selain profesor tersebut, banyak penulis buku yang mendapatkan royalti sangat rendah -- rata-rata di bawah Rp 1 juta per tahun, atau bahkan nihil. Ironinya adalah buku tersebut ditulis bertahun- tahun dengan mengeluarkan energi besar, dan berkisar tiga atau empat tahun kemudian baru dapat membuat buku baru.

Menulis buku adalah sebuah pendakian yang memerlukan kekuatan fisik dan mental. Cerita ini untuk menggugah kepedulian tentang betapa sulitnya menulis buku, dan diharapkan timbul empati lebih luas, sehingga dunia perbukuan menjadi lebih cair bagi stakeholder yang terlibat.

Buku sebagai jendela dunia, gerbang ilmu pengetahuan, hendaknya dapat dimasuki oleh kita semua, sehingga keberadaannya bukanlah menjadi barang mewah yang tidak mampu dibeli oleh masyarakat atau dibuat oleh pengajar

 

Peran Pemerintah dan Swasta

Saat ini pemerintah melalui Direktorat Pendidikan Tinggi berperan signifikan dengan memberikan dana hibah bagi berbagai buku terpilih. Sebelumnya, di masa Orde Lama, pemerintah memajukan dunia pendidikan melalui hibah buku untuk SMP-SMA misal Matematika jilid 1-12 yang ditulis oleh tim ahli. Para ekonom melalui LP3ES menerbitkan buku yang dijadikan acuan di banyak perguruan tinggi.

Sementara itu, Universitas Terbuka (UT) membuat modul pembelajaran cukup komprehensif untuk setiap mata kuliah, dimana modul tersebut ditulis oleh pengajar, hak cipta penerbitan pada UT dan royalti penulis bersifat lumpsum.

Dampaknya langsung kelihatan, yakni UT menjadi terbantu dalam menyediakan buku-buku terstandar bagus dan lembaga pendidikan ini juga menjadi jembatan bagi pengajar untuk menelurkan karya. Walau demikian, potensi untuk menghasilkan buku seharusnya bisa lebih banyak lagi dengan berbagai kebijaksanaan dari pemerintah baik terhadap penerbit, penulis ataupun pembaca.

Di perguruan tinggi (PT) terkenal, buku-buku teks asing biasanya paling dibanggakan. Sisi baik dari kebijakan ini adalah standarisasi bahan ajar dan nama baik dari PT tersebut. Sebaliknya, sisi buruknya adalah langkah tersebut mematikan kreativitas atau bahkan belum menguji kemampuan pengajarnya untuk menghasilkan karya.

Seyogyanya setiap PT top yang memiliki banyak doktor, membuat program menulis buku secara bersama sehingga dapat menghasilkan karya bagus dan dinikmati oleh stakeholder. Jauhkan dari sikap pesimistis tentang kualitas buku yang dihasilkan, karena dengan keseriusan rencana, semestinya kita dapat menghasilkan buku-buku berkualitas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline