Paket kebijakan ekonomi jilid IV yang dirilis 15 Oktober 2015, katanya untuk memberikan jaminan sistem pengupahan serta menghindari adanya PHK akibat kelesuan ekonomi. Faktanya, upah buruh masih tidak layak, daya beli buruh rendah, dan PHK masih sering terjadi. Ini artinya, janji Pemerintah tidak terealisasi.
Paket ekonomi jilid IV inilah yang mendorong diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan (PP Pengupahan). Karena sudah terbukti gagal, wajar jika kemudian kaum buruh menuntut agar PP Pengupahan segera dicabut. Sebaiknya Pemerintah tidak usah berdalih, bahwa saat ini kondisinya baik-baik saja.
Satu hal yang harus dicatat, penerbitan PP Pengupahan justru menghapus ruang bagi pekerja untuk berdiskusi soal pengupahan. Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 disebutkan, penetapan upah minimum oleh Gubernur setelah mendapatkan rekomendasi dari Dewan Pengupahan; yang didalamnya duduk perwakilan pekerja, pengusaha, dan pemerintah. Namun demikian, dalam PP Pengupahan, kenaikan upah minimum hanya berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Dimana data mengenai inflansi dan pertumbuhan ekonomi ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik Pusat. Tidak ada perundingan sama sekali. Dengan kata lain, Dewan Pengupahan tidak memiliki peran untuk merekomendasikan kenaikan upah minimum.
Jika kita menggunakan rumus kenaikan upah minimum dengan menggunakan formula inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi, sama saja kenaikan upah buruh tidak bisa mengangkat dan mengejar ketinggalan daya beli buruh akan harga pasar. Padahal kaum buruh membutuhkan kepastian, bahwa upah yang mereka terima dapat meningkatkan daya beli.
Kenaikan upah berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi memang digunakan negara lain. Namun, masalahnya, basis upah di Indonesia masih terlampau rendah. Sehingga seperti apapun penambahan upah yang dihitung menurut inflasi dan pertumbuhan ekonomi, tidak akan mampu menakar upah menjadi layak.
Mengapa saya mengatakan basis upah di Indonesia masih terlalu rendah? Tentu ada pembandingnya. Berdasarkan data International Labour Organization 2014/2015, rata-rata upah di Indonesia sebesar US$174 per orang per bulan. Angka ini tertinggal dari Vietnam US$181 per orang per bulan, Filipina US$206 per orang per bulan, Thailand US$357 per orang per bulan, dan Malaysia US$506 per orang per bulan.
Memang, upah Indonesia masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan Kamboja US$119 per orang per bulan dan Laos US$121 per orang per bulan. Dalam kondisi yang seperti ini, jika kemudian kenaikan upah minimum menggunakan inflasi dan pertumbuhan ekonomi, naiknya pasti murah, ketinggalan terus dengan negara sekitar, bahkan bisa disusul oleh Laos dan Kamboja.
Berdasarkan data-data tersebut, semakin jelas bahwa PP Pengupahan kontraproduktif terhadap upaya untuk meningkatkan daya beli. Dalam hal ini, gerakan kaum buruh yang rencananya di bulan September ini akan kembali melakukan aksi serentak di seluruh Indonesia untuk menolak PP Pengupahan menjadi bisa dipahami. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H