Lihat ke Halaman Asli

Kapan Desaku Maju?

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dua dekade lebih aku masih hidup di kampung halamanku. Tanah kelahiran yang menjadi motivasi bagi semua impian-impianku. Duka lara hingga hingar bahagia, disinilah semuanya pernah tercipta. Sampai aku yang saat ini sudah dewasa masih berharap suatu saat bisa hidup di sebuah desa yang indah permai, makmur penuh bahagia dan tentram sejahtera di sebuah tempat dimana aku pertama kali melihat dunia.

Satu dekade lebih aku menyadari dan turut menjadi saksi bagaimana pertama kali suka cita masyarakat tertuju pada sebuah harapan yang paling diimpikan berpuluh-puluh tahun lamanya, mimpi yang tak pernah terlintas satu masa pun di setiap pergantian pemimpinnya. Harapan yang selalu mereka inginkan, tak teralu tinggi hanya sebuah rasa damai di dalam hati, tanpa dibohongi.

Sepuluh tahun lamanya aku turut serta menyaksikan demokrasi di desaku, ternyata kompleksitas masalah tak pernah bisa teratasi. Padahal kita tahu sendiri kerasnya persaingan pemilihan Kades di setiap kampung itu lebih parah, lebih panas, lebih heboh dibanding pemilihan pilpres sekalipun. Para saat kampanye, para calon Kades lebih intens bertemu masyarakat, menawarkan solusi, menawarkan mimpi, bagi-bagi uang dan sebagainya semua dilakukan demi sebuah kedudukan sekaligus peluang untuk meraup sebesar-sebesarnya keuntungan jika ia menang.

Pemilihan kades di kampung kami lebih parah karena melibatkan pemuka agama yang biasanya diiming-imingi atau memang kepentingan pribadi. Saat itu kepercayaan palsu mulai ditabur sebanyak-banyaknya. Para tim sukses menawarkan solusi bagi masyarakat, sampai pada tahap membenci para guru mereka yang kesehariannya menjadi sumber ilmunya hingga pengusiran dan pengucilan, jangan ditanya lagi bagaimana perselisihan tetangga yang sudah tentram puluhan tahun menjadi musuh seketika ibarat syetan dengan orang beriman.

Ironis memang, setiap menyempatkan diri untuk pulang dan bertemu keluarga, desa kami seperti tak pernah berubah dari masa ke masa. Banyak hal yang lebih buruk dari masa lalu ketika aku tinggal didesa ini. Padahal desaku hanya 90 km dari ibu kota Jakarta dan 12 km dari ibu kota kabupaten, bahkan beberapa waktu yang lalu Bupati kami pernah berkunjung yang mungkin menjadi yang terakhir dalam hidupnya. Saya yakin mereka sadar bagaimana keadaan desa kami ini, dan yang paling parahnya diantaranya :

Jalan yang menjadi penghubung desa lebih dari sepuluh tahun terakhir yang saya tahu yang mungkin dari pertama kali nenek moyang membuat jalan tak pernah berubah maksimal, bagaimanakah buruknya? syukur kalo jalan ke di desa kami datar seperti di jawa dan kota-kota, ini tanjakan curam, belokan, melintasi hutan. semuanya berair, berbatu, berlumpur dan gelap. Padahal, hanya sepanjang 6 km saja menuju jalan provinsi. Itu semua tak pernah ada solusi, setiap berganti pemimpinnya tak lepas dari bertambah istri, bertambah asset dan memperkaya diri sambil masyarakatnya dibodohi.

Masyarakat sebenarnya sudah sangat berharap setiap kepala desa yang baru bisa memperbaiki jalan yang mereka idam-idamkan sebagai jalur untuk kelancaran ekonomi mereka menuju kota dan pantai tempat mereka mencari sumber penghidupan. Selain itu juga agar tak lagi dipandang sebelah mata sebagai orang kampung yang tertinggal, agar tidak lagi merasa khawatir ketika anak-anak mereka pulang pergi sekolah hingga larut malam, agar tidak lagi ada kecelakaan, dan sebagainya.

Desa kami tak terstruktur, jangan ditanya masalah dana desa dan sebagainya. Desa kami tidak memiliki kepengurusan pemuda ketika masyarakat tak sadar pemerintah desa terutama kades hanya sibuk dengan urusan pribadi, karena mungkin mereka tahu dana untuk pemuda lebih baiknya untuk pribadi saja dari pada terbuang percuma. Tak ada kegiatan pemuda, tak ada semangat pemuda, tak ada pengembangan pemuda. desaku tak ada pemuda, kalo tidak menikah di usia muda, mereka semua pergi ke kota dan ke luar negeri untuk bekerja, sepanjang waktu seperti itu dari generasi ke generasi. Pada akhirnya desa kami melahirkan kualitas pemuda budaya blasteran kampung dan kota, kriminal, arogan dan jauh dari etika serta jauh dari cermin budaya yang ada.

Sebenarnya masalah yang perlu dikoreksi tidak cukup sampai disini, yang mungkin sama dengan desa-desa kita semua. Selanjutnya saya akan bahas satu persatu bagaimana hal-hal yang tidak boleh terjadi justru terjadi akibat mental dari pemimpinnya yaitu kepala desa itu sendiri, dari mulai dana yang tidak transparan, masalah pribadi pemimpinnya dari periode ke periode yang sudah bukan rahasia lagi,hal-hal yang berhubungan dengan warga dan sebagainya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline