Sudah bukan rahasia umum lagi kalau Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat korupsi yang sangat besar. Di tahun 2023 ini, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia dari skor 38 terjun bebas menjadi skor 34. Hal ini membuat Indonesia kini berada di urutan 110 sebagai negara korup dari 180 negara di seluruh dunia. Tingginya angka korupsi di Indonesia menunjukkan lemahnya hukum yang berlaku, sehingga membuat banyak pihak tidak merasa takut ketika melakukan perbuatan kotor tersebut. Hal tersebut membuat tingkat kepercayaan masyarakat terhadap supremasi hukum di Indonesia berkurang. Supremasi hukum merupakan upaya menempatkan dan menetapkan hukum pada posisi tertinggi. Berdasarkan data, indeks kepercayaan masyarakat Indonesia hanya bernilai sekitar 2.8 dengan nilai maksimal 10.
Hukum korupsi tentulah haram. Berbagai tindakan yang dipandang sebagai korupsi dapat dilihat dalam beberapa ayat dalam Al-Qur'an. Terdapat ayat yang menyebutkan bahwa dilarang makan harta sesama dengan jalan batil. Dan larangan tentang menyuap hakim demi menguasai harta yang bukan haknya. Allah swt berfirman dalam Qur'an surat Al-Baqarah ayat 188 yang artinya "Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui."
Beberapa kasus korupsi yang terungkap di tahun 2023 ini di antaranya adalah kasus pemerintah daerah yakni Wali Kota Bandung Yana Mulyana ditangkap KPK, kasus korupsi proyek strategis nasional BTS 4G yang melibatkan Menkominfo, Jhonny G Plate sebagai tersangka, bahkan yang lebih mencengangkan adalah Ketua KPK nonaktif, Firli Bahuri, yang menjadi tersangka dalam kasus dugaan pemerasan menambah daftar panjang kasus korupsi sejumlah petinggi lembaga penegak hukum. Terkuaknya kasus-kasus elite ini menunjukkan betapa buruknya citra penegakan hukum dalam bidang korupsi di negeri ini. Selain itu, maraknya praktik perilaku koruptif yang sering terjadi di kalangan masyarakat, termasuk kaum terpelajar. Contohnya seperti menyontek, titip absen, datang terlambat, berbohong, perbuatan curang, mencuri, dan lain sebagainya. Sering kali perbuatan-perbuatan yang dianggap sepele tersebut justru dapat mengakibatkan perasaan tidak bersalah karena sering dilakukan. Jangan sampai hal itu malah dianggap adalah hal yang biasa. Justru, berawal dari hal-hal kecil itulah dapat menanamkan sikap tamak dan serakah, sehingga sering kali akan menimbulkan perasaan tidak cukup akan yang dimiliki. Hal ini menunjukkan bahwa korupsi bukan lagi merupakan suat kejahatan yang hanya bisa dilakukan oleh oknum-oknum pejabat saja, tetapi pegawai biasa juga mampu melakukannya.
Salah satu momok menakutkan bagi pembangunan sebuah negara adalah korupsi. Bagaimana tidak, di tengah upaya meningkatkan perekonomian dan menciptakan kesejahteraan, korupsi justru selalu hadir dan menjadi faktor perusak di banyak lini. Tindakan korupsi akan sangat merugikan negara, buktinya adalah negara Indonesia. Bayangkan saja, Indonesia dengan sumber daya manusia dan sumber daya alamnya yang begitu melimpah masih menjadi negara berkembang dan tertinggal dengan negara-negara lain. Hal ini dikarenakan banyaknya sarana prasarana yang tidak memadai, minimnya sosialisasi kesehatan seperti stunting, kualitas pendidikan yang masih tertinggal jauh, dan ketimpangan sosial yang terjadi.
Bersumber dari buku "Modul Integritas Bisnis - Dampak Sosial Korupsi", berbagai penelitian menunjukkan bahwa korupsi mampu menurunkan tingkat investasi sebuah negara, terutama foreign direct investment (FDI) atau investasi langsung dari luar negeri. Padahal investasi asing penting bagi sebuah negara. IMF menganggap FDI adalah jenis investasi yang tahan terhadap krisis. Selain itu, buruknya dampak Korupsi dapat mengakibatkan ketimpangan pendapatan. Ketimpangan ekonomi dapat terjadi di berbagai bidang, yaitu antar individu, kelompok, hingga antar wilayah. Orang-orang kaya yang memiliki pengaruh dan kekuasaan memiliki peluang besar memanfaatkan keunggulannya tersebut untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan, suap menyuap contohnya. Sementara bagi kalangan orang-orang miskin, seakan-akan mereka tidak punya kesempatan untuk memperbaiki kualitas hidupnya dikarenakan hampir semua aspek dikuasai oleh orang-orang berada. Perlu diketahui bahwa kemiskinan bukan hanya permasalahan ekonomi saja, tapi juga melibatkan sektor lain, di antaranya sektor pendidikan, kesehatan, dan lapangan pekerjaan. Banyaknya nominal uang yang hilang akibat korupsi membuat kurang pesatnya pembangunan di Indonesia. Padahal dengan nominal uang tersebut akan banyak hal yang bisa Indonesia lakukan, seperti membangun jembatan, jalan tol, rumah sakit yang memadai, dan tentu saja pendidikan anak bangsa akan terjamin.
Kemudian daripada itu semua, kerugian yang tidak kalah besar adalah hilangnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah. Adanya ketidakadilan di depan hukum seperti hukuman terhadap para koruptor yang dirasa tidak memuaskan, juga permasalahan kemiskinan yang tidak kunjung teratasi membuat masyarakat bersikap skeptis terhadap segala peraturan dan kebijakan yang dibuat oleh para pejabat. Skeptis adalah sikap kurang percaya atau mencurigai atau mempertanyakan tentang suatu hal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H