Lihat ke Halaman Asli

Adakah Dampak Penggunaan Bahasa Nonformal terhadap Perilaku dan Psikologis Anak-anak?

Diperbarui: 11 Desember 2016   15:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

http://salamyogyakarta.com/

Menjadi life observer memang membutuhkan rasa sensitivitas tinggi terhadap seluruh aspek kehidupan. Saya menyukai profesi seperti ini, karena saya harus berusaha mengolah hasil menjadi objektif. Saya menggunakan ilmu pengetahuan saya yang pernah saya dapat sebagai pisau analisis, jadi pure made in otak.

Sore itu di Bulan Ramadan menjelang buka puasa, sehabis bikin seratus gelas takjil dawet khas Bandung, saya iseng duduk di sebuah taman di daerah Kemayoran Jakarta pusat, namanya sebuah taman pasti di situ banyak anak-anak bermain, persis sama seperti gula ramai dengan semut. Apalagi momennya pas lagi Bulan Ramadan. Hari libur sekolah kayaknya lebih banyak.

Sepertinya tak bisa disangkal lagi bahwa dunia anak-anak adalah dunia bermain, kalau masih ada yang melarang anaknya bermain (waktu lengang) berarti orang tua tersebut patut dikirim ke komisi perlindungan anak dan perempuan (lol). Memahami anak-anak tak semudah memahami pelajaran di sekolah, mereka tumbuh sesuai bagaimana orang tuanya dan di mana ia tinggal.

Pada sore itu tidak ada hal lain yang saya lakukan kecuali menikmati sore menunggu adzan maghrib berkumandang di sebuah taman depan masjid, sambil kuperhatikaan bocah-bocah bermain, tetapi ada hal yang membuat saya jengkel yaitu tentang penggunaan bahasa mereka.

Sudah kita kita ketahui bersama bahwa bahasa merupakan sebuah komunikasi untuk mendapatkan pemahaman satu sama lain. Penggunaan bahasa tentunya juga melihat situasi yang sedang dihadapi seseorang baik formal maupun nonformal. Tak bisa dipungkiri dalam pergaulan sehari-hari ada dua tipe penggunaan bahasa, yakni verbal dan nonverbal. Bahasa verbal adalah bahasa tulisan maupun ucapan seseorang dengan lisan yang disampaikan kepada lawan bicaranya, dan nonverbal adalah bahasa tubuh dengan mengekspresikan bagian tubuhnya untuk disampaikan kepada seseorang yang sedang diajak bicara, seperti menangis sebagai tanda kecewa.

Bahasa verbal memilki dua cabang: bahasa formal dan nonformal. Bahasa formal atau yang kita sebut bahasa yang sopan, seperti penggunaan bahasa seorang karyawan ke atasannya, seorang mahasiswa ke dosennya, atau seorang anak ke orang tuanya, sedangkan bahasa nonformal seperti teman bermain, teman nongkrong atau yang seumur dan setara. Kedua-duanya sama-sama merupakan bahasa sehari-hari.

Yang menarik saat ini adalah penggunaan bahasa nonformal yang sering kita jumpai dalam kegiatan sehari-hari misalnya, di kota metropolitan seperti Jakarta dan sekitarnya dengan menggunakan gaya bahasa seperti lu gua. Yang menarik dari bahasa anak-anak yang saya jumpai adalah mereka seperti terbiasa dengan menggunakan kata-kata seperti begok, tolol, P-A, taik, ngentot, dan bahkan anji**. Dan mereka sedikit pun tidak merasa terganggu dengan bahasa seperti itu. Terkadang saya miris mendengarnya, anak-anak jaman sekarang terutama di ibu kota Jakarta sudah terbiasa dengan bahasa seperti itu.

Bahasa bagi saya merupakan pengaruh dari aktivitas sosial. Aktivitas sosial atau pergaulan yang kurang sehat melahirkan penggunaan bahasa yang tak lazim. Dampak yang ditimbulkan adalah terhadap perilaku. Kalau dalam ilmu psikologi bahasa dapat membentuk sebuah karakter seseorang dengan setiap hari mengirimkannya lewat alam bawah sadar.

Dengan terus berkembangnya zaman, ada saja Bahasa yang lahir seperti alay, lebay lo, mager, anjir bahkan nama-nama hewan mewarnai percakapan anak-anak hari ini seperti anji**, bab* dll. Dari saking seringnya mereka menggunakan bahasa tersebut maka tak sedikitpun mereka merasa bersalah, mungkin karena sudah terbiasa dan mungkin juga merupakan kesepakatan bersama yang tanpa harus kesepakatan, jadi ketika dalam obrolan diselingi kata-kata seperti begok, anjing mereka tidak marah dan tidak merasa tersinggung.

Dengan semakin berkembang dan bebasnya penggunaan bahasa yang kurang tepat penggunaanya, menambah problema dan beban moral dalam berinteraksi di masyarakat, tidak semua orang akan merasa nyaman dengan penggunaan bahasa yang kurang tepat. Seperti di Jakarta misalkan dengan sistem pendidikan yang sudah maju, dengan penggunaan teknologi, guru-guru nya yang profesional, namun etika dalam berbahasa masih menjadi pekerjaan rumah dan menjadi beban moral bagi mereka.

Jakarta dengan tingkat populasi anak muda yang tinggi berpotensi melahirkan generasi yang salah kaprah dalam berkomunikasi. Oleh karenanya masyarakat yang sehat dan beradab juga tergantung bagaimana mereka berkomunikasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline