Lihat ke Halaman Asli

Sahyoni

Pengajar dan Pemerhati Sosial

Malandu, Tradisi Pedekate Masyarakat Pekal yang Sudah Hilang

Diperbarui: 21 Januari 2025   09:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pedekate Kawula Muda (Pexels/cottonbro studio)

Bagi masyarakat Pekal, salah satu suku di Kabupaten Mukomuko, yang pernah menjadi kawula muda dari tahun 1980-an hingga awal 2000-an, kata malandu tentu sangat familiar. Mendengar kata ini, ingatan mereka mungkin langsung melayang ke masa-masa sebelum listrik hadir, ketika wajah sang pujaan hati tetap terlihat bersinar meski dalam cahaya redup. Masa-masa sederhana yang diisi dengan makan mie Sakura pedas bersama, tetapi terasa istimewa seolah menikmati hidangan mewah di kafe kekinian. Generasi muda di wilayah Pekal, khususnya Desa Talang Baru dan sekitarnya, pasti akan tertawa  mendengar cerita seputar malandu. Tradisi yang begitu unik ini terasa kharismatik, terutama jika dibandingkan dengan gaya pacaran masa kini yang banyak terpengaruh gaya hidup kota metropolitan. Pegang tangan didepan umum, umbar kemesraan melalui media sosial, atau sering kali tidak lagi pamit kepada orang tua ketika mau keluar rumah.

Sekilas tentang Malandu

Kata malandu secara bahasa memiliki kesamaan dengan istilah "batandang," "wakuncar," atau "ngapel." Namun, secara konteks dan makna filosofis, malandu memiliki perbedaan yang signifikan. Tradisi ini merujuk pada kegiatan silaturahmi yang dilakukan oleh kawula muda ke rumah pacar, calon pacar, atau teman perempuannya, biasanya pada malam Minggu atau hari-hari khusus seperti Lebaran. Menurut cerita dari uwo (kakak dalam bahasa Pekal), sebelum bertandang ke rumah perempuan, seorang laki-laki harus memiliki keterampilan khusus seperti berpantun, sarambak (petatah petitih), serta keahlian lain seperti meraut rotan, menganyam, atau membuat lukah. Keterampilan ini dianggap sebagai nilai tambah yang meningkatkan daya tarik seorang pemuda. Selain itu, pada era 1990-an, ada persyaratan tidak tertulis yang sudah dipahami oleh semua lelaki, yaitu membawa oleh-oleh atau buah tangan saat malandu. Tradisi ini juga menjadi poin tambahan di mata calon mertua perempuan, yakni memperlihatkan perhatian dan kesungguhan seorang pemuda.

Menempa keberanian dan tanggungjawab 

Malandu bukan hanya tentang melihat raut wajah sang pujaan hati, tetapi lebih dari itu: menjadi wadah untuk menempa keberanian dan tanggung jawab. Dalam tradisi ini, seorang laki-laki harus berani bertemu dan berbicara langsung dengan ayah perempuan yang dituju. Biasanya, ibu si gadis jarang terlibat pada tahap awal ini; fokus utama adalah "penggemblengan" mental oleh sang ayah. Proses ini juga berfungsi sebagai penyaringan awal sebelum hubungan berlanjut ke tahap berikutnya. Percakapan dalam situasi ini sering kali terasa canggung dan penuh basa-basi. Jangan ditanya bagaimana perasaan si pemuda---tentu saja kurang rileks, grogian dan salah tingkah. Namun, pengalaman ini harus dilalui oleh setiap kawula muda pada masa itu. Tidak jarang, pertemuan pertama hingga ketiga hanya dihabiskan bersama sang ayah, sementara si gadis hanya muncul saat mengantarkan minuman dan selebihnya "disembunyikan" di kamar.

Pertanyaan pertama yang diajukan biasanya berkisar pada silsilah keturunan, terutama bagi pemuda yang berasal dari luar desa. Hal ini penting karena bagi orang tua zaman dulu, nasab adalah persoalan marwah dan harga diri. Pemeriksaan ini bertujuan menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, seperti pernikahan sedarah, sesuku, atau hubungan keluarga yang terlalu dekat. Jika ditemukan hubungan kekeluargaan yang masuk kategori sumbang (tidak bisa dinikahi), arah percakapan akan berubah. Dalam kasus seperti itu, pemuda sering kali hanya disuruh makan sambil mendapat nasihat dari kedua orang tua si gadis, karena dianggap bagian dari keluarga besar. Jika pembahasan silsilah selesai tanpa masalah, percakapan biasanya beralih ke topik ringan seperti cuaca. Namun, ketika topik ini mulai membosankan, pembicaraan bisa meluas ke isu yang sedang hangat, seperti Piala Dunia, kontroversi artis nasional, atau kenaikan harga bahan pokok bahkan pilkada. Esensi utama dari tradisi malandu adalah keberanian pemuda untuk datang langsung ke rumah sang gadis, bukan sekadar bertemu di luar. Hal ini juga menunjukkan tanggung jawab untuk melindungi sang perempuan dari hal-hal yang tidak diinginkan. Bagi para pemuda, keberanian menemui orang tua langsung menjadi bukti kesiapan mereka untuk menjalin hubungan yang serius. Tidak mengherankan, pada masa itu, jika seorang pemuda ingin mengajak gadis idamannya keluar, ia harus menjemput ke rumah, bukan sekadar bertemu di acara. Jika pemuda tersebut sudah melalui proses malandu, izin untuk membawa sang gadis keluar biasanya lebih mudah didapat karena dua persyaratan utama telah terpenuhi: keberanian dan tanggung jawab

Membangun Chemistry 

Pendekatan yang dilakukan dalam malandu tidak hanya terbatas pada aspek fisik dengan hadir secara langsung melihat pujaan hati, tetapi juga menyentuh aspek psikologis untuk membangun kecocokan antara calon menantu dan calon mertua. Hal ini penting karena tujuan akhir dari malandu adalah terjadinya pernikahan. Ada berbagai cara yang dapat dilakukan untuk menjalin hubungan baik dengan calon mertua, salah satunya adalah dengan menunjukkan keterampilan. Misalnya, bagi mereka yang pandai membuat lukah (perangkap ikan), kesempatan besar untuk membantu ayah calon pasangan dengan meraut rotan dan menganyam bilah-bilah bambu menjadi lukah. Sementara itu, bagi yang mahir menganyam tikar masiang, peluang terbuka untuk membantu ibu calon pasangan membuat tikar. Intinya, malandu adalah ajang "menjual" diri di hadapan calon mertua dan keluarga besarnya. Semakin baik keterampilan yang ditunjukkan, semakin tinggi penilaian yang didapat dalam "katalog" calon mertua. Terlebih lagi, pada zaman dahulu, ayah dan ibu memiliki hak prerogatif untuk menentukan calon menantu, meskipun anak mereka sendiri belum tentu setuju. Oleh karena itu, pendekatan yang paling esensial adalah membangun kecocokan dengan calon mertua, urusan dengan anaknya itu mah bisa diatur belakangan.

Karena pada zaman dahulu, seperti saat sekarang saingan ada dimana-mana. Bayangkan kalau kita tidak mempunyai kecakapan yang bisa ditunjukan maka secara alami kita akan tereleminasi dan tidak bisa masuk ke tahap beikutnya. Sayang sekali. Jika keberuntungan belum berpihak kita akan bertemu dengan saingan ketika malandu. Tidak hanya satu tapi dua kadang-kadang yang mereka tentunya sudah menyiapkan amunisi.

Screening Awal Calon Anggota Keluarga 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline