Lihat ke Halaman Asli

sahrum

Pengajar SMPN 1 Kauman

Anjing Penyerbu Darah

Diperbarui: 14 Februari 2019   09:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Nafasku naik turun seperti akan lepas dari dada. Tercium aroma anyir darah yang langsung menusuk hidungku. Di jalan berlumpur ini, aku merasakan badangku bergetar dahsyat. Ku rasakan darah mulai menetes, pikiranku buyar. Panik. Apakah ini tanda bahwa aku akan melahirkan anak pertama? Batinku gelisah.

Belum pernah aku mengalami hal semacam ini. Soal kelahiran aku hanya mendengar dari ibu waktu aku belum menikah. "Saat nanti hamil pertama, jika sudah akan melahirkan tubuh terasa lemas. Seakan nyawa kita ikut terperas bersama keluarnya anak kamu. Jadi wanita harus kuat." Pesan ibu masih aku ingat jelas.

Andaikan suamiku berada di samping aku sekarang. Mungkin aku tak mengalami kekhawatiran semacam ini. Dulu, setiap ada keperluan suamiku selalu membantu dan berupaya melindungi. Tapi setelah menikah, kepribadannya perlahan berubah. Dia sering pergi keluar malam dan pulang pagi.

"Kenapa mas tidak merasa nyaman di rumah ini?" Aku menanyakan dan ingin mengetahui perubahannya selama ini.

"Ada suatu hal yang harus aku selesaikan." Katanya ketus, sambil menghabiskan sisa kopi.

Aku tidak berani menanyakan lagi, wanita seperti aku akan dianggap lancang bila menyangkal perkataan suami. Sehingga aku hanya bisa merasakan ucapan pahit sisa kopinya. Apakah nasehatku demi keharmonisan keluarga kami masih dianggap sebelah mata selama ini? Entahlah.

Awalnya, bayanganku pernikahan itu begitu indah. Setiap melihat pasangan suami istri keluar rumah yang bersama. Suami selalu memperhatikan keselamatan dan memberikan kasih sayang lebih.

Dulu saya masih ingat suara tetanggaku, dan entah kenapa saya mempercayainya. "Kalau sudah menikah rezeki pasti akan datang sendiri, apalagi ketika sudah mempunyai anak suami pasti akan tambah menyayangi kamu, Sur."

Ketika saya lulus SMA, bapak membujukku untuk segera menikah, karena apabila tidak cepat menikah diusiaku yang hampir dua puluh tahun, bapak merasa aku tidak mendengarkan nasehatnya.

Saat itu aku bimbang untuk memilih melanjutkan sekolah atau memilih menikah. Setiap malam aku berpikir bagaimana cara melanjutkan sekolah lagi. Sedangkan keluarga kami adalah keluarga sederhana. Terletak di pinggiran desa. Guruku, Ibu Lasmi, memberikan motivasi supaya aku tetap melanjutkan. Karena menurutnya aku adalah wanita yang dibilang berbakat dan cerdas.

"Suatu saat nanti kamu pasti menjadi wanita  hebat Surti, kamu yang akan merubah masa depan desa kamu. Karena selama ini, aku melihat pendidikan wanita di desa ini masih tergolong rendah." Jelas Ibu Lasmi, ketika saya memenangkan lomba cerdas cermat di Kecamatan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline