Lihat ke Halaman Asli

Sahrul Ramdani

Universitas Airlangga

Pakai Barang Palsu untuk Gaya Hidup, Adaptasi atau Jebakan?

Diperbarui: 6 Januari 2025   16:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tas branded KW yang dijual di ITC Mangga Dua, Jakarta Utara (KOMPAS.com/RIZKY SYAHRIAL)

Isu kenaikan tarif PPN menjadi 12% dapat memperburuk situasi ekonomi bagi masyarakat kelas menengah ke bawah. Adanya peningkatan harga barang dan jasa sangat mungkin membuat daya beli masyarakat akan cenderung berkurang. Bagi sebagian dari mereka yang selama ini menggunakan counterfeit goods untuk memenuhi kebutuhan gaya hidupnya, hal ini tampaknya semakin logis untuk dilakukan.

Counterfeit goods sebagai alat peniru prestise

Dalam artikel "Counterfeit Goods" yang ditulis oleh Richard S. Higgins dan Paul H. Rubin (1986), counterfeit good merujuk pada barang-barang yang dibuat menyerupai produk asli dengan menggunakan merek dagang atau logo terkenal tanpa izin dari pemilik merek. Secara sederhananya, counterfeit goods merupakan barang palsu, KW, atau tiruan.

Dalam masyarakat kapitalis, di mana simbol material sering kali dianggap sebagai indikator status sosial, counterfeit goods atau barang palsu menawarkan jalan pintas bagi mereka yang ingin terlihat seolah-olah memiliki akses ke high society. Meskipun realitasnya bisa berbanding terbalik atau terdapat perbedaan.

Menurut sebuah studi pada tahun 2022, konsumen kelas menengah di Indonesia cenderung memilih barang mewah palsu, khususnya produk fesyen, sebagai alternatif yang lebih terjangkau untuk memenuhi gaya hidup mereka. Hal ini juga didorong oleh tren global, di mana keterbatasan daya beli tidak menghentikan hasrat untuk memiliki status sosial tertentu, yang dapat dicapai melalui konsumsi counterfeit goods.

Lantas, apa dampak dari penggunaan counterfeit goods?

Mulai dari merugikan perekonomian negara hingga melanggengkan budaya konsumerisme

Grafik kerugian ekonomi Indonesia akibat beredarnya counterfeit goods pada tahun 2015 & 2020.

Berdasarkan studi Dampak Pemalsuan Terhadap Perekonomian di Indonesia yang dilakukan oleh Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) yang bekerja sama dengan Institute for Economic Analysis of Law & Policy-Universitas Pelita Harapan (IEALP UPH), kerugian ekonomi Indonesia pada tahun 2020 akibat transaksi jual-beli produk-produk palsu mencapai 291 triliun rupiah. Jika dibandingkan dengan tahun 2015 lalu yang hanya sebesar 65,1 triliun, nominal ini mengalami peningkatan yang sangat tajam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline