A. Titik Berangkat Masalah
Dalam kenyataan sekarang ini Indonesia di landa sebuah krisis, tetapi krisis ini bukan dilahirkan dari perhitungan keuangan ataupun pengaruh dari naik turunnya nilai rupiah terhadap dollar tetapi krisis yang penulis maksudkan disini adalah sebuah fenomena krisis yang di hadapi oleh pemerintah yang diakibatkan oleh ketidakpercayaan masyarakat terhadap upaya yang dilakukan oleh pemerintah, gejala ini telah berlangsung lama, menurut penulis gejala ini terlihat setelah Indonesia di landa krisis ekonomy tahun 1998 yang dikarenakan pengaruh dari perekonomian global.Hampir sepuluh tahun setelah Indonesia memasuki era "reformasi" (pascakepemimpinan Soeharto), negara ini tetap belum mampu meredam ambisi pribadi para pengelolanya. Salah satu kunci penting untuk mewujudkan itu adalah melalui reformasi birokrasi yang sayangnya tak terlalu mendapatkan perhatian pada awal era reformasi. Saat itu upaya pembenahan melulu difokuskan pada proses demokrasi dan tidak pada bagaimana agar demokrasi itu menciptakan suatu pelayanan yang semakin baik kepada masyarakat. Kekuatan birokrasi Indonesia sebetulnya bisa menjadi mesin penggerak yang luar biasa apabila mampu didayagunakan untuk memajukan kesejahteraan rakyat. Namun, yang saat ini terjadi justru sebaliknya.
Dan kondisi Pasca reformasi 1998 masyarakat mulai memberikan wajah geram terhadap pemerintah akan apa yang dilakukan selama ini mengingat pada kepemimpinan sebelumnya masyarakat tidak bebas melakukan aktivitas sosial dan kebebasan mengakses informasi sangatlah sulit sehingga apapun yang dilakukan oleh pemerintah dalam artian kejahatan birokrasi tidak di ketahui oleh masyarakat, barulah setelah birokrasi kebebasan pers dan kebebasa berserikat serta penegakan HAM mulai di tingkatkan.
Selain pengekangan terhadap masyarakat diatas terlihat juga akan budaya birokrasi yang di tunjukkan dalam pelayanannya sangatlah tidak memuat sebuah prinsip bahwa pemerintah dilahirkan untuk mengakomodir kepentingan rakyat tetapi dilahirkan untuk mengakomodir kepentingan pribadi dan kelompok para elit birokrasi. Budaya ini terlihat dari diskriminasi dalam pelayanan, serta tebang pilih di mata hukum, serta kebiasaan yang membuat telinga kita panas sangat melihat dan menonton televisi yaitu bagaimana para birokrat menggunakan kekuasaannya untuk mencopet (korupsi) uang rakyat demi kepentingannya dan kelompok. Selain yang digambarkan sebelumnya, ada juga budaya lamban dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat, karena cukup prosedural serta dan ini stempel yang selalu diberikan kepada birokrasi.
Krisis ketidakpercayaan masyarakat yang dialami oleh pemerintah ini juga diakibatkan karena fenomena KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) yang semakin meraksasa di lingkungan birokrasi, dan peristiwa ini tidak berhenti sampai pada rezim orden baru kemarin pada kepemimpin sampai sekarang ini.. Peristiwa tersebut tidak terlepas dari kesadaran dan etika birokrat itu sendiri dan ditambah lagi para birokrat kita semakin lemah melakukan akuntabilitas padahal menurut Starling dalam bukunya Wahyudi Komorotomo mengatakan bahwa akuntabilitas ialah kesetiaan untuk menjawab pertanyaan publik.[1]
Selain itu Jika pada zaman orde baru mesin birokrasi nyata-nyata menjadi pendukung pemerintah dan Golkar, pada era reformasi tradisi itu masih berlangsung dalam formula yang sedikit berbeda. Jika seorang kader Partai A menduduki jabatan menteri, misalnya, bisa diperkirakan semua posisi penting di departemennya akan diisi kader-kader dari parpol bersangkutan. Dengan demikian, kita beranjak pada penyakit kronis lainnya yang mengakar di birokrasi, yaitu kooptasi partai politik. Perkawinan antara birokrasi dan partai politik. Perkawinan antara birokrasi dan partai politik tak pelak lagi telah melahirkan sistem yang saling melemahkan.
Di satu sisi, partai politik tidak memiliki sistem kaderisasi yang baik sehingga kandidat yang di calonkan parpol bukanlah hasil gemblengan yang berdasarkan sistem prestasi (merit system). Di sisi lain, pemilihan umum ataupun pemilihan kepala daerah, misalnya, sarat dengan politik uang. Karena itu, siapapun yang terpilih kelak akan disibukkan untuk "mengembalikan bayaran" kepada pihak-pihak yang telah membantunya ke jabatan tersebut. Dana pengembalian itu paling mungkin diambil dari anggaran yang tersedia. Akibatnya terasa betul tensi politik meninggi dalam setiap pilkada karena birokrasi merasa sangat terancam apabila mereka tidak taat atau tidak loyal kepada partai politik dan kandidat terpilih. Jelaslah, reformasi bakal mustahil diwujudkan apabila aktor berikut mesinnya terperangkap dalam sebuah lingkaran sistem yang korup.
Langkah awal untuk memulai pembenahan adalah dengan memutus kooptasi parpol atas birokrasi dan menarik garis tegas diantara keduanya. Selama kepentingan-kepentingan institusional bias diintervensi oleh kepentingan partai politik, birokrasi tak akan pernah menjadi profesional. Langkah berikutnya adalah membangun profesionalisme dan memordenisasi administrasi pemerintahan sehingga tercipta struktur manajemen efektif. Itu berarti perlu pengkajian kembali
sistem kepegawaian yang menyeluruh, termasuk proses perekrutan. Proses perekrutan yang berlangsung tertutup, dimana terbuka peluang "jual-beli" kursi pegawai negeri sipil, harus dihentikan.
Jika menggunakan pendapat Starling sebagai dasar penilaian terhadap fenomena ini berarti jelas bahwa para birokrat kita tidak lagi setia terhadap masyarakat. Ketidaksetiaan ini muncul karena para birokrat menganggap bahwa jabatan tersebut tidak sebagai amanah dan tanggung jawab tetapi sebagai kesempatan memperbaiki hidup. Paradigma inilah yang membuat aktivitas korupsi semakin menjamur dalam praktek birokrasi.
Bagi penulis, karena masyarakat telah merasa sakit akibat di perselingkuhan birokrat dengan kepentingan pribadi dan kelompok mereka olehnya pemerintah seharusnya melakukan pembuktian untuk mengembalikan kepercayaan tersebut. Apa saja yang harus dilakukan? Mungkin banyak yang harus dilakukan seperti penegakkan hukum peningkatan ekonomi yang berunjung kesejahteraan dan juga menyangkut pendidikan, kesemuanya dapat terlaksana jika birokrat kita dapat merubah atau menggantikan budaya yang selama ini dengan budaya yang lebih baik berbicara soal budaya ini akan tergantung dari bagaimana etika birokrat, sehingga mampu memberikan pertanggung jawaban kepada masyarakat.