Lihat ke Halaman Asli

Sahroha Lumbanraja

TERVERIFIKASI

Masih percaya dengan Cinta Sejati, Penggemar Marga T..

Berangkat dengan Cita, Pulang Tinggal Nama

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (cdn.klimg.com)

Kasus kekerasan dalam dunia pendidikan Indonesia semakin mengembang. Belum tuntas kasus pelecehan seksual  anak Taman Kanak-kanak (TK) di Jakarta International School, kekerasan lain terjadi di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP). Sekolah pemerintah ini kembali meramaikan pemberitaan kekerasan yang terjadi di lingkungannya. Bukan kali pertama sekolah yang melahirkan pelaut-pelaut ini muncul dengan pemberitaan kasus kekerasan yang dialami mahasiswanya. Pada tahun 2008, sekolah yang dulunya bernama Akademi Ilmu Pelayaran (AIP) yang dibawahi langsung oleh Kementerian perhubungan ini juga menjadi perhatian atas kematian salah satu mahasiswanya akibat penganiayaan yang dilakukan senior. Adalah Agung Bastian Gultom yang tewas dianiaya 10 orang seniornya di kampus STIP Marunda. Terkuaknya penyebab kematian Agung adalah hasil otopsi dari polisi karena sebelumnya pihak STIP menutupnutupi kematian Agung.

Enam tahun berlalu, kasus kekerasan di STIP kembali terkuak. Adalah Dimas Dikita Handoko, taruna tingkat I yang meregang nyawa setelah menjadi korban kekerasan dari para seniornya di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran. Dimas tewas setelah disiksa di rumah kos seniornya 25 April 2014. Bersama 6 orang rekan seangkatan, Dimas mendapatkan pukulan mulai dari perut, dada, hingga ulu hati. Sempat pingsan akibat tak tahan akan rasa sakitnya, tetap tak mengurungkan niat seniornya untuk menyiksa Dimas. Hingga akhirnya Dimas tak tertolong. Berbeda dengan enam orang temannya yang luka-luka dan dirawat di RS Pelabuhan Jakarta.

Setelah dilakukan penyelidikan Kepolisian Resor Jakarta Utara kemudian menetapkan 7 mahasiswa tingkat II menjadi tersangka. Adapun pemicu kekerasan ini adalah akibat junior yang dinilai tidak respek terhadap seniornya. Masalah sepele seperti junior yang tidak mengenal senior dalam lingkungan sekolah atau perguruan tinggi yang menjunjung tinggi senioritas mampu membangkitkan rasa’sok hebat’ dan ‘sok berkuasa’ di kalangan senior yang berbuntut pada penganiayaan juniornya.  Ini juga yang terjadi di STIP.

Kekerasan dalam dunia pendidikan, terlebih pada sekolah kedinasan memang sepertinya sudah menjadi budaya terselubung. Tentunya kita masih belum lupa akan kasus kekerasan yang etrjadi di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) tahun 2007. Sekolah yang dibawahi langsung oleh Departemen Dalam Negeri Republik Indonesiaini juga mencetak sejarah hitam dalam dunia pendidikan Indonesia. Puluhan siswa meninggal akibat kerasnya masa OSPEK di IPDN. Tercatat sejak 1993-2007 diperkirakan 35 orang siswa meninggal. Puncaknya, kematian Cliff Muntu di tahun 2007 salah satu mahasiswa IPDN sangat mencuri perhatian masyarakat, yang mana kematiannya berusaha disembunyikan pihak IPDN. Kasus-kasus ini baru yang terekspos media, masih banyak kasus lain yang terjadi di luar sana.

Sekolah kedinasan yang notabene dikelola langsung oleh suatu Departemen negara seyogyanya menjadi tempat yang aman untuk menuntut ilmu. Dengan seleksi masuk yang ketat, maka tak sembarangan pula orang yang berhasil masuk ke sekolah-sekolah yang dibiayai oleh negara ini. Sama halnya dengan STIP, berhasil menjadi lumbung yang melahirkan pelaut handal sekolah ini menjadi impian mereka yang bercita-cita menjadi Pelaut. Apalagi akan langsung memiliki kesempatan besar bekerja di institusi pemerintah usai tamat. Menjadi incaran generasi-generasi cerdas sudah seharusnya STIP memiliki kualitas dan kenyamanan dalam melakukan proses belajar dan mengajar. Tak hanya itu, sekolah dinas seperti ini pastinya menjunjung tinggi kedisiplinan.

Sayangnya Kedisiplinan juga yang menjadi alasan yang dimanfaatkan Senior untuk melakukan penyiksaan terhadap juniornya. Inilah sebenarnya Hukum tersirat di lembaga pendidikan yang menjunjung tinggi prinsip senioritas turun-temurun. Adanya kesempatan Senior melakukan orientasi kepada Junior yang diizinkan suatu lembaga pendidikan justru dimanfaatkan sebagai aksi bullying . senior yang merasa lebih dahulu menjadi penghuni di suatu sekolah merasa memiliki kekuasaan lebih dan menjadi gila hormat. Terjadilah aksi semena-mena kepada junior dan bagaikan tak berdaya, junior tak memilki hak sedikitpun untuk melawan. Karena sudah dianggap hal yang wajar dan turun-temurun. Aksi ini berlanjut di tahun selanjutnya dengan motif balas dendam.

Ini yang terjadi di STIP. Dimas yang dianiaya habis-habisan oleh seniornya tak melawan sedikitpun. Karena telah dianggap hal wajar. Padahal peristiwa tersebut terjadi di luar jam sekolah, dimana seharusnya Dimas tak perlu memikirkan masalah senioritas. Tapi karena memang secara tak sengaja terlanjur tertanam sikap mendewakan senior, jadilah Dimas dan kawan-kawannya menuruti apapun perintah seniornya walaupun harus digebuki hingga merenggang nyawa.

Siapa yang salah? Percaya atau tidak, budaya senioritas telah eksis di setiap lembaga pendidikan Indonesia. Namun tingkatnya saja yang berbeda-beda. Masalahnya adalah seberapa serius suatu sekolah melakukan fungsi pengawasan terhadap anak didiknya. Dan seberapa jauh seorang anak menyimpan sendiri tindak ketidakadilan yang diterimanya. Jadi melakukan pembaharuan sejuta kalipun atas kurikulum suatu lembaga pendidikan, tak akan berpengaruh jika tugas supervisinya berantakan.

Sekolah atau lembaga pendidikan seharusnya menjadi tempat pembangunan karakter, kecerdasan, mental dan kesuksesan, bukan sebatas kognitif saja. Sekolah juga menjadi salah satu ruang yang memungkinkan untuk meraih asa dan cita-cita. Dengan edukasi yang tepat dan sehat sesuai fungsinya, sudah seharusnya Sekolah diwujudkan seaman dan nyaman mungkin untuk menuntut ilmu. Bebas dari pengajar ‘sakit’ dan bebas dari murid-murid ‘sakit jiwa’. Jika tidak, generasi muda yang datang ke sekolah dengan penuh cita hanya akan pulang tinggal nama, seperti kasus-kasus di atas.

Semoga saja pihak terkait (Kemendikbud dan Pemerintah)  mampu mengembalikan Sekolah kembali pada fungsi aslinya. Dan turut berduka atas meninggalnya generasi-generasi muda akibat kekerasan di atas, berharap agar ini adalah kasus terakhir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline