[caption id="" align="alignnone" width="620" caption="Buruh Pabrik rokok (ilustrasi/tempo.co)"][/caption]
Rokok barangkali sudah sejak lama menjadi salah satu hasil produksi paling dilematis di Indonesia. Efek samping yang diakibatkannya untuk konsumen memang tidak main-main. Komposisi sejumlah zat berbahaya di dalamnya tak hanya menyerang pemakai (perokok aktif) , lebih dari itu asap yang ditimbulkan akan menjadi gangguan bagi sekitar. Walaupun Tidak mengkonsumsi rokok secara langsung, dengan berlama-lama menghirup asap rokok akan cukup membuat kita menjadi perokok pasif. Bahayanya adalah sejumlah penyakit serius seperti impotensi, gangguan ginjal hingga penyakit jantung akan mengancam dengan menjadi perokok. Seperti iklan promosinya terbaru, Rokok bahkan disebut menjadi pembunuh. Baca di sini Pembunuhan yang diiklankan.
Banyaknya efek samping negative yang ditimbulkan berdampak pada penolakan-penolakan sejumlah masyarakat terhadap kebiasaan merokok. Maka di berbagai tempat umum tertentu banyak larangan merokok. Tentunya ini merupakan suatu upaya meminimalisasi kebiasaan merokok yang kurang baik dan untuk memberikan keamanan bagi mereka yang tidak mengkonsumsi rokok. Tidak hanya itu, kampanye anti rokok yang cukup intens juga marak terjadi di Indonesia dan tidak sedikit komunitas atau organisasi yang menamakan dirinya bebas rokok. Sayangnya, konsumsi rokok yang memang jelas-jelas terbukti membahayakan kesehatan tak serta merta membuat pemerintah mengeluarkan regulasi penutupan pabrik rokok. Pajak pabrik rokok yang disebut-sebut sangat tinggi dan menguntungkan negara menjadi salah satu alasannya. Bahkan inilah kemungkinan besar yang membuat produksi rokok menjadi produk paling dilematis di negara ini. Mematikan konsumen namun Menguntungkan Negara!
Tidak bisa dipungkiri, produksi rokok di Indonesia memang terus berkembang. Tingginya permintaan dan naiknya grafik perokok di Indonesia membuat Perusahaan yang memproduksi rokok bertumbuh cepat dan kian hari berubah menjadi perusahaan besar. Sebut saja di antaranya Djarum, HM Sampoerna, Bentoel Group, Gudanggaram Tbk, Wismilak dan masih banyak lagi. Tak hanya itu, bertumbuhnya perusahaan rokok ini juga sejalan dengan permintaan bahan baku yang tinggi, yakni tembakau dengan pemanfaatan petani Indonesia. Bak simbiosis mutualisme, Perusahaan rokok dan Petani tembakau saling bahu-membahu menjalankan produksi untuk kemudian dipasarkan.
Bagi masyarakat yang bukan perokok , sebagian besarnya sudah tentu ‘membenci’ perokok, pastinya berharap negara ini bersih dari asap rokok. Harapan ini bukanlah asa yang berlebihan atau ‘lebay’. Harapan ini tentu saja realistis untuk menjaga kesehatan masyarakat. Namun mudahnya memperoleh rokok di Indonesia membuat harapan ini seakan tidak mungkin. Terbukti, dengan iklan yang sudah sangat menyeramkan sekalipun, tetap saja perokok di Indonesia tak acuh. Jadi, jika perusahaan rokok hingga saat ini eksis tentunya disebabkan konsumennya juga yang masih berkembang.
Namun baru-baru ini, saya tertarik membaca pemberitaan HM Sampoerna yang terpaksa menutup dua pabriknya di Kabupaten Jember dan Lumajang. Dikutip dari Kompas.com, Tutup 2 Pabrik PT HM Sampoerna PHK 4.900 Karyawan , Sampoerna menghentikan produksi di kedua Kabupaten tersebut tertanggal (31/5) . Hal ini sebagai imbas dari menurunnya pangsa pasar yang menukik tajam sepanjang tahun. Upaya ini ditempuh sebagai tindakan penyelamatan untuk mempertahankan eksistensi Sampoerna sebagai salah satu produsen rokok terbesar di indonesia.
Menurunnya permintaan rokok tentunya menjadi berita bagus bagi Masyarakat. Artinya Masyarakat kita sudah mulai peduli dengan pola hidup sehat dan mulai sadar akan bahaya yang diakibatkan oleh rokok. bisa dibayangkan, jika penurunan ini secara bertahap namun pasti menunjukkan hasil yang signifikan, maka bisa dipastikan dalam beberapa tahun ke depan Indonesia akan bebas dari rokok. Dan secara langsung, tingkat kematian yang diakibatkan oleh konsumsi rokok jangka panjang akan lenyap. Ringkasnya, Lingkungan Indonesia akan jauh lebih aman dan sehat.
Namun keprihatinan yang baru muncul, akibat dari penutupan dua plant diperkirakan 4900 karyawan akan menjadi pengangguran. Karyawan sebanyak itu tentu saja menjadi beban tersendiri yang menjadi gambaran suramnya keputusan penutupan tersebut. Itu baru dua anak perusahaan saja, bagaimana pula jika lima pabriknya yang lain akan mengalami hal yang sama? Dipastikan puluhan ribu pengangguran baru akan menghiasi data BPS tahun depan. Kembali lagi, masyarakat pekerja terpaksa mengalami imbas yang tidak baik. Walaupun akan diberikan pesangon akibat pemutusan hubungan kerja itu, tentunya tak akan bertahan lama untuk menopang hidup mereka.
Inilah mungkin titik dilematis produksi rokok Indonesia. Industri yang sudah terlanjur menjadi usaha raksasa ini telah menjadi tumpuan harapan puluhan ribu masyarakat Indonesia untuk bertahan hidup. dengan demikian, menjadi pertimbangan sulit untuk memusnahkan perusahaan rokok dari bumi Indonesia. Selain tembakau menjadi komoditas penting Indonesia, perolehan negara yang disebut tinggi dari produsen rokok menjadi faktor lain. Tetapi, apakah industry ini akan selamanya berdiri dan tidak akan pernah hilang? Jika demikian, sampai kapan kita akan menonton iklan rokok yang sangat konyol itu? semuanya kembali ke masyarakat sebagai penentu permintaan pangsa pasar. INGAT! MEROKOK MEMBUNUHMU!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H