Lihat ke Halaman Asli

Sahroha Lumbanraja

TERVERIFIKASI

Masih percaya dengan Cinta Sejati, Penggemar Marga T..

Hukuman Guru Berakhir Maut, Bukti Dilematisnya Profesi Seorang Pendidik

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1423220054829964163

[caption id="attachment_395374" align="aligncenter" width="549" caption="Ilustrasi guru mengajarkan anak murid (Dok. Kompas.com)"][/caption]

Seorang guru berinisial W di SMP Negeri I Palasah Kabupaten Majalengka mungkin tak pernah menyangka, hukuman biasa yang diberikannya kepada siswa-siswi nya yang kurang disiplin berakhir dengan kematian salah satu siswinya. W yang merupakan guru bahasa Indonesia itu mungkin seperti guru lain yang ingin menunjukkan ketegasan demi kedisiplinan murid-muridnya sehingga perlu memberikan hukuman di saat siswanya tidak mengerjakan Pekerjaan Rumah (PR) yang diberikan sebelumnya. Hukumannya pun tidak terlalu ekstrim, sang Guru menyuruh belasan anak didiknya yang tidak disiplin tersebut untuk mengelilingi lapangan basket sebanyak 10 putaran untuk puteri. Naas bagi Lintang, seorang siswi yang ikut mendapatkan hukuman tersebut. Di putaran kedua, gadis berusia 13 tahun tersebut terkapar dan akhirnya meninggal dunia di Puskesmas terdekat pada Kamis (5/2).

Tewasnya Lintang tentu saja membuat orang tuanya shock dan menuntut guru yang memberikan hukuman tersebut. Sehingga merekapun akhirnya meminta supaya jenazahnya diotopsi terlebih dahulu sebelum dimakamkan. Tuntutan hukum tentu saja menanti W dan pihak sekolah tersebut. Siapa sangka, Hukuman sepele dari sang guru untuk mendisiplinkan muridnya berakhir maut dan menyebabkan W menghadapi tuntutan hukum. Kasus inipun menuai banyak pro dan kontra. Satu sisi hukuman yang diberikan si guru dinilai normal dan wajar, namun di sisi lain banyak yang menyebut seharusnya W tak perlu memberikan hukuman fisik bagi siswa/siswinya.
Sudah rahasia umum dalam dunia pendidikan kita bilamana seorang guru memberikan hukuman fisik kepada muridnya yang tidak disiplin. Sejak dulu hingga sekarang, hukuman tersebut memang terlihat lebih manjur dari sekedar saran dan nasehat yang kadang hanya lewat saja di telinga murid-murid. Hanya saja intensitas hukuman yang diberikan guru dulu dan sekarang jelas sangat berbeda. Jika dulu, murid akan langsung dihukum berat seketika saat melakukan kesalahan. Maka sekarang guru sudah berpikir puluhan kali sebelum memberikan hukuman fisik, karena takut laporan siswa tentang penganiayaan dan lain sebagainya. Tak heran, tingkat kedisiplinan sekolah dulu jauh lebih baik dari sekarang. Dulu Guru sangat disegani oleh siswanya, bandingkan dengan sekarang ini. Sepertinya kita semua tahu betapa jauhnya perbedaan etika, moral hingga sikap seorang pelajar sekarang dengan yang dulu. Setidaknya saya bisa membandingkan gaya hidup anak SD dulu dengan sekarang, jelas sangat berbeda.

Kembali lagi ke kasus W, di satu sisi apa yang dilakukan W ini tentu saja untuk niatan mendisiplinkan siswanya agar lebih baik dan patuh di masa depan. W tentu saja tak bermaksud menyiksa dalam memberikan hukuman itu. Sebagaimana guru pada umumnya, W memberikan hukuman itu semata-mata untuk mengajari siswanya agar tidak mengulangi hal yang sama. Apalagi hukuman yang diberikan masih lumayan ringan dan dapat disebut sebagai olahraga pagi, jadi rasanya tak terlalu relevan jika menyalahkannya sepenuhnya. Bahkan mungkin banyak di luaran sana hukuman yang jauh lebih berat diberikan seorang pengajar kepada muridnya yang kurang disiplin. Hanya saja, W bernasib kurang beruntung hingga hukuman yang diberikannya sampai-sampai merenggut nyawa seorang siswinya.

Gambaran dari kasus W tentu saja seakan menunjukkan betapa dilematisnya berprofesi guru sekarang ini. Seperti orang tua yang mengirimkan anaknya ke sekolah yakni dengan harapan agar kaya ilmu dan mampu menjajaki kesuksesan, guru juga rasanya memiliki mimpi yang sama untuk kesuksesan anak didiknya. Namun ketika muridnya kurang disiplin, dilemma baru muncul. Jika guru hanya memberikan nasehat maka kemungkinan besar tak akan ada efek jera untuk siswanya. Sayangnya, jika diberikan hukuman fisik yang efek jeranya mungkin lebih besar justru bisa memasukkan Guru yang bersangkutan ke jeruji besi.

Kasus yang menimpa Lintang ini menjadi pelajaran baik kepada guru maupun orang tua. Bagi guru, tentu saja agar lebih bersabar lagi dan detail dalam melihat situasi dan kondisi siswa sebelum menghukumnya. Karena berdasarkan dugaan sementara menyimpulkan bahwa korban ada kekurangan cairan serta darah yang tidak sampai ke otak (kini sedang diotopsi). Sederhananya, Lintang dalam keadaan kurang sehat saat menjalani hukuman tersebut. Seharusnya terlihat ekspresi atau mimic wajah yang pucat. Di sisi lain, sebagai orang tua agar selalu memperhatikan anaknya ketika berangkat sekolah dan pastikan dalam keadaan fit walau hanya sekedar mengingatkan untuk Sarapan pagi. Dan tentu saja, turut berbelasungkawa atas kematian siswi tersebut.

Baca Kronologi meninggalnya Siswi SMP

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline