Lihat ke Halaman Asli

Biar Tekor asal Kesohor versi Kelas Gurem

Diperbarui: 17 Juni 2015   09:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ungkapan”biar tekor asal kesohor” sudah sangat populer , terutama di kalangan masyarakat kelas “bawah” (Baca : pendapatan masih sekitar UMR/UMK ). Tulisan ini bukan tentang krisis middle income trap – yaitu rapuhnya kelas menengah Indonesia, namun tentang “ironisnya ” perilaku masyarakat berpenghasilan UMK/UMR yang ada disekitar kita. Banyak bacaan tentang “budaya konsumtif” yang kronis dari masyarakat kita, namun umumnya hal itu terjadi pada masyarakat yang memiliki pendapatan menengah dan sudah mampu memenuhi kebutuhan primer (sandang, pangan, papan)

Selama 10 tahun terakhir ini, kami mengurusiusaha sampingan 19 petak kontrakan “kelas gurem. Penyewa terbagi atas dua profesi yaitupenyewayang bekerja disektor informal (tukang sayur, penjual soto, dll) dan penyewa yang berprofesi sebagai buruh pabrik ataubekerja pada orang yang digaji bulanan. Rata rata penyewa sudah menepatikontrakan kami 1-8 tahun. Dan semuanya memiliki hoby “nunggak”. Nunggak bayar kontrakan dan nunggak bayar PAM.

Sejalan dengan gaya hidup”nunggak pembayaran”, mereka juga memiliki gaya hidup “unik”.Menempati petak 3 X7 M (1 Kamar tidur) , hampir semua penyewa memiliki “mesin cuci”. (bayangkan betapa sesaknya ruang gerak mereka). Selain itu tentu saja mereka memilki TV, HP dan alat alat elektronik lainnya. Para istri juga belanja kosmetik merk “WRDH ” yang menurut saya cukup berkelas (sebagai contoh harga lispstick sekitar Rp. 50.000,-) .Untuk konsumsi rutin, mereka juga rajin belanja “protein hewani” (ayam, ikan, telor dll).Sedangkan uang jajan anak mereka yang masih bersekolah di TK atau SD berkisar antara 5rb-10rb/hari (sekitar Rp.150.000- Rp. 300.000/Bln).

Sejalan dengan gaya hidup itu, para istri mereka juga menolak kerja yang “menjatuhkan gengsi”, misalnya menjaga anak atau menerima seterikaan, walau gajinya bisa melunasi tunggakan uang PAM pada kami. Mereka juga “gengsi”membenahi kerusakan listrik/lampu , menyapu selokan, mencabut rumputdan seringkali membayar orang untuk melakukanpekerjaaan tersebut. Lebih ironis lagi, beberapa dari mereka mengganti cat kontrakan dengan warna warna favorit mereka seperti acara” design interior “ di TV.Jangankan berniat menabung untuk biaya pendidikan anak mereka kelak , niat efesiensi untuk bisa memenuhi tunggakan saja tidak ada.

Sesuai keyakinan saya , bahwa akar kemiskinan lebih bersifat struktural, namun ternyata kegagalan struktural tersebut berdampak pada persoalan kultural yang akut. Pekerjaan “memutus kemiskinan” ternyata bukan soal agenda 5 tahunan atau 25 tahunan, namun bisa menjadipekerjaan 7 (tujuh) turunan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline