Lihat ke Halaman Asli

Selamanya Hampir (#1)

Diperbarui: 26 Desember 2024   14:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Roman. Sumber ilustrasi: pixabay.com/qrzt

Hujan deras masih mengguyur tanpa ampun, membuat kota terasa makin dingin dan kelabu. Liora menghela napas panjang sambil menyandarkan tubuhnya ke sofa kecil yang warnanya sudah mulai pudar. Suara rintik hujan bercampur angin yang berdesir jadi latar belakang malam itu, menghiasi kesunyian apartemennya yang mungil.

Di meja depan sofa, secangkir kopi hitam yang sudah dingin terlihat. Uap hangatnya sudah lama menghilang, seperti semangat yang Liora rasakan belakangan ini.

"Kenapa ya, hidup tuh rasanya gini-gini aja. Nggak ada ujungnya," gumamnya, setengah mengeluh. Tangannya yang bebas mengambil bantal kecil di sampingnya, memeluknya erat, seolah berharap ada rasa nyaman yang muncul.

Matanya terpaku pada satu sudut dinding, tempat sebuah foto tua tergantung. Foto kedua orang tuanya, dengan senyuman yang dulu selalu berhasil menenangkannya. Tapi sekarang, setiap melihat foto itu, dadanya terasa semakin berat.

"Ah, gue kangen banget," katanya lirih, lebih kepada dirinya sendiri. Dia mengusap wajahnya, mencoba menahan rasa sesak yang tiba-tiba membanjiri hati. Dua tahun. Sudah dua tahun sejak kecelakaan itu, tapi rasanya baru kemarin dia mendengar tawa mereka.

Hening sejenak. Liora menatap ke arah jendela, memandangi hujan yang tak kunjung reda. Tangannya terulur ke cangkir kopi, tapi berhenti di tengah jalan. "Udah dingin juga, percuma," katanya sambil tersenyum kecil, getir.

Dia bangkit perlahan, merapikan rambutnya yang acak-acakan. "Mau sampai kapan sih gue kayak gini?" tanyanya pada bayangannya sendiri di kaca jendela. Tapi nggak ada jawaban, hanya hujan yang terus berbicara.

Rasanya ingin menyerah, tapi entah kenapa selalu ada detik berikutnya yang terus berjalan. Meski berat, meski kosong.

Hidup Liora seperti jalan di treadmill: kaki terus melangkah, tapi dia tetap di tempat yang sama. Setiap pagi rutinitasnya nyaris tak berubah. Bangun tidur, bikin kopi, buka laptop, lalu menatap layar sambil berharap inspirasi datang. Sebagai seorang freelance writer, biasanya ia punya banyak ide yang mengalir deras. Tapi belakangan, pikiran kosong lebih sering menguasainya. Artikel yang seharusnya selesai dalam hitungan jam justru terbengkalai berhari-hari.

Di antara kesunyiannya, hanya Hana yang masih rajin menjangkaunya. Sahabatnya sejak SMA itu memang keras kepala, selalu punya cara untuk menyelipkan dirinya di kehidupan Liora. Meski sibuk dengan pekerjaannya di sebuah kantor advertising, Hana selalu meluangkan waktu untuk menelepon atau sekadar mengirim pesan.

"Lo nggak bisa gini terus, Yor," suara Hana terdengar jelas di ujung telepon suatu sore. "Gue tau lo lagi berat, tapi lo harus keluar dari lubang ini."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline