K6_Paradoks self assessment_Prof. Apollo Daito Sahiruddin/55521110044/MAKSI/UMB/Jakarta/2021
Paradoks Sistem Self Assesment Dengan Fenomena Sengketa Pajak
Pajak sangat sexy di mata pemerintah oleh karena itu hampir semua asfek dalam kehidupan kita baik implisit maupun eksplisit ditemepeli "setoran" pajak dengan berbagai cara dan beragam tarif. Contoh pada saat mendapatkan gaji wajib pajak dipotong pajak penghasilan.Selanjutnya dipajakin lagi ketika membelanjakan penghasilan tersebut, membeli makanan, pakaian, kendaraan wajib membayar pajak, dan pemilik tanah dan bangunan wajib membayar pajak bumi dan bangunan.
Fungsi utama pajak adalah sebagai sumber keuangan Negara (Budgetair) dan alat pengatur Negara (Reguler). Terdapat perbedaan prinsip antara system perpajakan sebelum taxreform dengan sistem perpajakan saat ini, Penyebabnya adalah diubahnya Sistem Offisial Assessment menjadi Sistem Self Assessment. Melalui pelaksanaan sistem Self Assessment diharapkan administasi perpajakan dapat dilaksanakan dengan lebih rapi,terkendali,sederhana dan mudah dipahami oleh wajib pajak.
Pemerintah, khususnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP), telah melakukan upaya penyempurnaan administrasi perpajakan. Undang-undang PPN telah beberapa kali mengalami perubahan dimulai sejak tahun 1983 dikeluarkannya Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Adapun perubahan peraturan perpajakan dapat dilihat mulai dari yang terakhir seperti berikut;
- UU N0. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
- UU No. 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang
- PERPU No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan
- UU No. 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
- UU No. 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang
- UU No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
- UU No. 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai
- UU No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai
- UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
- UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
- UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Terdapat beberapa aspek yang dapat mempengaruhi penerimaan PPN, di antaranya yaitu: self assessment system, pemeriksaan pajak, dan penagihan pajak. Perubahan dari Official Assesment ditengarai sebagai penyebab timbulnya sengketa pajak karna pemerintah menyerahkan sepenuhnya tanggungjawab kepada wajib pajak untuk menghitung sendiri jumlah pajaknya sehingga terbuka kemungkinan wajib pajak untuk memanfaatkan celah sistem ini untuk berbuat tidak jujur dalam memenuhi kewajibannya. Peraturan sebaiknya dibuat sederhana,tidak sering berubah,dan tidak berlapis seperti bawang, agar mudah difahami,lebih pasti,tidak menjadikan perih siapapun yang menyentuhnya, dan memiliki inti. Lapisan hukum yang terlalu banyak seringkali melelahkan dan membingungkan, hal ini dapat mempengaruhi kepercayaan masyarkat terhadap hukum sehingga tingkat kepatuhanpun menjadi rendah.
Di bidang perpajakn terdapat perbedaan tujuan antara wajib pajak dengan pemungut pajak. Wajib pajak berupaya agar dapat membayar pajak sekecil mungkin bahkan menghindari pajak tapi pemungut pajak/pemerintah berupaya agar wajiib pajak membayar pajak sebesar mungkin. Tujuan yang berbeda ini berpotensi menimbulkan sengketa pajak sampai tingkat pengadilan pajak.
Berdasarkan data Sekretariat Pengadilan Pajak Kementerian Keuangan, putusan banding yang mengabulkan seluruhnya sepanjang tahun 2021 mencapai 5.338. Adapun, keputusan yang mengabulkan sebagian tercatat mencapai 2.590 pada tahun 2021, merupakan jumlah terbanyak sejak 2015. Hal ini mengindikasikan bahwa kinerja pemeriksaan berjalan kurang optimal sehingga Ditjen Pajak menelan kekalahan dalam setiap sengketa. Sengketa pajak biasanya muncul apabila terjadi ketidaksinkronan data dari wajib pajak sehingga mendorong adanya pemeriksaan oleh petugas pajak.
Menurut Neilmaldrin Noor (Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan) kasus yang mengabulkan seluruh permohonan banding wajib pajak mayoritas karena wajib pajak menunjukkan dokumen pendukung yang tidak lengkap atau kompeten pada tahap pemeriksaan awal(Associates, 2022).
Walaupun Peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan sudah mengatur tata cara perpajakn tetapi tetap saja peraturan tersebut masih jauh dari kata sempurna sehingga berpeluang menimbulkan interpretasi ganda dan multitafsir. Keadaan ini menjadi salah satu pemicu sengketa pajak yang masih banyak terjadi di lapangan. Wajib pajak maupun aparatur pajak (Fiscus) membutuhkan kepastian hukum dalam praktik penarikan /pemungutan pajak.Untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan baik kepada wajib pajak maupun pemerintah sebagai fiscus, pembuat UU menetapkan UU tentang pengadilan pajak No.14 Tahun 2002 yang diundangkan tanggal 12 Aprill 2002 yang disebut UU Pengadilan Pajak.(DJP, 2002)
UU Pengadilan Pajak mengatur hukum acara Pengadilan Pajak, gugatan, dan permohonan banding, namun dalam praktik di Pengadilan Pajak banyak hal-hal ysng belum diatur dalam UU Pengadilan pajak tersebut . Sebagai contoh matriks sengketa ,uji bukti dan sebagainya(Tampubolon, 2022)
Mengenai Kejahatan dan sistem keuangan global (yang berperan sebagai fasilitas tindak kejahatan), harus dipahami bahwa pelaku kejahatan (yang sudah terungkap atau pun belum) bersama-sama memanfaatkan fasilitas yang sama untuk melindungi kejahatan dan menikmati hasilnya secara sah (James S. Henry, Columbia University, Center for Sustainable Investment, 2016)
Joseph E. Stiglitz peraih Nobel dan sekaligus seorang ekonom dunia memberi gambaran tentang sistem perpajakan yang baik secara umum, yaitu cerminan sistem yang jujur. "Kejujuran (fairness), dimana sistem perpajakan harus mencerminkan keadilan terhadap masing-masing individu dalam masyarakat