Lidahnya mengecap
Tangannya yang mungil dan gelap meraba sendok
Lahap betul kuah tak tersisa
Anak kecil itu berbaju lusuh
Celananya dihiasi debu jalanan, lecek dan kumal
Kakinya dibalut sandal jepit butut
Baginya melahap bakso pinggir jalan merupakan surga
Bising kendaraan
Tebalnya asap polusi
Debu jalanan
Suara gaduh dari tenggorokan preman
Baginya sudah semacam kawan
Senyumnya mekar
Suara tawanya riang
Tangisnya pecah tak terdengar dipeluk kolong aspal
Tangisnya pecah tak terdengar digulung habis oleh kerasnya jalanan
Dapat 500 perak akibat bersenandung pakai gitar usang
Dia sudah ucap syukur ke Tuhan
Biarpun sering diusir supir angkot
Lantaran kehadirannya dianggap kotor
Nak, kerasnya masa kecil mu
Kau masih bisa berjalan riang dengan senyum lebar di wajah
di tengah kerasnya jalanan
di bawah kolong kota
di negeri para dewan
dewan-dewan terlena tertawa lepas, acuh
Nak, kau hidup dipeluk panasnya matahari menusuk kulit mu yang belia
Kau hidup di negeri dimana kayu ditancap tanah tumbuh pohon seribu jenis
di negeri dimana isi lautnya tumpah ruah melimpah
Nak, kau sangat kuat
Aku malu
Kau ajarkan aku satu pelajaran hebat dalam hidup
Berani dan kuat
Kuat melawan yang kuat
Kuat menjalani hidup di tengah kerasnya kolong kota
Nak, kita tidak kalah sudah berjuang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H