Lihat ke Halaman Asli

Sahira Aqma

Mahasiswa

My Body My Choice!

Diperbarui: 4 Desember 2024   09:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Oleh: Lutfia Sulistia Rahmadani, Marsya Filzah Liyana, Sahira Aqma Nur Febrianti.

Guys, pernah nggak sih kalian ngerasain ada yang beda antara cowok sama cewek? Kayak misalnya, cowok lebih bebas main game sampe pagi, sedangkan cewek harus bantuin nyuci baju. Atau, cowok didorong buat jadi dokter atau engineer, sementara cewek disaranin jadi guru atau perawat. Nah, perbedaan-perbedaan kayak gini tuh yang disebut dengan ketidaksetaraan gender.

Di Indonesia, masalah kesetaraan gender ini masih jadi PR besar lho. Banyak banget kasus-kasus yang menunjukkan kalau perempuan masih sering dirugikan. Mulai dari gaji yang nggak sama untuk pekerjaan yang sama, sampai kasus kekerasan seksual. Padahal, dalam Undang-Undang Dasar kita udah jelas banget, semua warga negara punya hak yang sama tanpa terkecuali, termasuk hak untuk mendapatkan perlakuan yang adil dan setara.(Gusmansyah 2019)

Kalian pasti pernah dengar kan tentang sejarah perjuangan kesetaraan gender di Indonesia yang dipelopori oleh RA Kartini sejak tahun 1908 yang memperjuangkan hak antara laki laki dan Perempuan. Khususnya dalam bidang pendidikan. RA Kartini melawan atas ketidakadilan terhadap kaum perempuan yang tidak diperbolehkan dalam menuntut ilmu. Perjuangan RA Kartini ditindak lanjuti pada kongres perempuan Indonesia pada tanggal 22 desember 1928 yang kemudian ditetapkan sebagai hari Ibu, sehingga sampai sekarang laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama dalam berbagai aspek kehidupan.(Kartini and Dan 2024)

Tapi, sayangnya masih banyak banget orang yang nggak setuju dengan gerakan kesetaraan gender. Mereka beranggapan kalau perempuan dan laki-laki itu memang berbeda dan punya peran masing-masing. Cowok harus jadi pemimpin, sedangkan perempuan harus ngurus rumah tangga. Padahal, pandangan kayak gini tuh udah ketinggalan zaman banget.

Di dunia pendidikan misalnya, kita masih sering nemuin anggapan kalau cowok itu lebih pinter otomotif dan arsitektur, sedangkan cewek lebih pinter dalam pendidikan anak dan keperawatan. Padahal, kemampuan seseorang itu nggak ditentukan oleh jenis kelaminnya, tapi lebih ke minat dan bakatnya.

Nah, terus gimana sih cara kita mewujudkan kesetaraan gender di Indonesia? Pertama, kita harus mulai dari diri kita sendiri. Kita harus berani melawan segala bentuk diskriminasi gender, baik itu yang kita alami sendiri maupun yang kita lihat terjadi pada orang lain. Kedua, kita bisa ikut serta dalam berbagai kegiatan yang mendukung kesetaraan gender, misalnya seminar, workshop, atau demo. Selain itu, kita juga bisa memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan informasi tentang pentingnya kesetaraan gender. Dengan begitu, kita bisa mengajak lebih banyak orang untuk ikut terlibat dalam perjuangan ini.

Kalian tahu nggak sih, kalau kesetaraan gender itu nggak cuma penting buat perempuan, tapi juga buat laki-laki? Kenapa? Karena kalau semua orang punya kesempatan yang sama untuk berkembang, maka masyarakat kita akan jadi lebih maju. Bayangkan aja kalau semua bakat dan potensi seseorang bisa tersalurkan dengan maksimal, pasti banyak banget inovasi dan ide-ide kreatif yang muncul.(Meo and Boro 2021)

Tapi, mewujudkan kesetaraan gender itu nggak semudah membalikkan telapak tangan. Ada banyak tantangan yang harus kita hadapi, mulai dari budaya patriarki yang masih kuat, sampai dengan adanya perbedaan pendapat tentang apa itu kesetaraan gender.(Qomariah 2019)

Beberapa orang mungkin beranggapan kalau kesetaraan gender itu berarti perempuan harus lebih dominan dari laki-laki. Padahal, kesetaraan gender itu bukan tentang siapa yang lebih superior, tapi tentang memberikan hak dan kesempatan yang sama untuk semua orang, tanpa memandang jenis kelamin.

Contoh saja pemilu tahun 2024 ini ada calon gubernur di suatu daerah di Indonesia dimana salah satu calon laki-laki mendiskriminasi secara halus calon lawan yang seorang perempuan dengan berpendapat bahwa perempuan tidak boleh menanggung beban berat apalagi sebagai gubernur. Hal ini tentu tidak benar karena kepimimpinan adalah seni, pemimpin bukan dari warisan, keturunan ataupun kekayaan tapi kerasnya kemauan dan kemampuan kita untuk belajar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline