Sudah tiga hari Dinda tinggal sendirian di rumah peninggalan neneknya yang sudah hampir 5 tahun kosong. Rumah tua bergaya kolonial itu terletak di pinggiran kota, dikelilingi pepohonan rindang yang menjulang tinggi. Awalnya, dia merasa beruntung bisa tinggal di sana selama menyelesaikan skripsinya. Kesunyian tempat itu dirasa cocok untuk fokus mengerjakan tugas akhirnya.
Namun malam ini berbeda.
Jam dinding kuno di ruang tengah berdentang dua belas kali. Dinda masih terjaga di depan laptopnya, mencoba menyelesaikan bab terakhir skripsinya. Angin malam berhembus melalui celah jendela, membuat tirai tipis bergoyang pelan.
Tok... tok... tok...
Suara ketukan halus terdengar dari arah lemari kayu tua di sudut ruangan. Dinda menoleh, jantungnya berdebar kencang. Dia mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanya suara kayu yang memuai karena perubahan suhu.
Tok... tok... tok...
Ketukan itu terdengar lagi, kali ini lebih keras. Dinda memberanikan diri mendekati lemari tersebut. Tangannya gemetar saat meraih pegangan pintunya.
"Siapa di sana?" bisiknya pelan.
Tidak ada jawaban. Hanya keheningan mencekam yang menyelimuti ruangan.
Dengan tekad yang dikumpulkan, Dinda membuka pintu lemari itu perlahan. Deritannya memecah kesunyian malam. Mata Dinda membelalak. Di dalam lemari, di antara tumpukan baju-baju tua, dia melihat sebuah boneka porselen yang tidak pernah dia lihat sebelumnya. Boneka itu tersenyum, matanya seolah menatap langsung ke arahnya.
Dinda hendak menutup pintu lemari ketika boneka itu perlahan menoleh.