Lihat ke Halaman Asli

Caleg Perempuan Pemilu 2014

Diperbarui: 24 Juni 2015   07:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Enam bulan ke depan, Indonesia akan mengulangi kembali pemilihan umum 5 tahunan.  Dimana caleg perempuan dan caleg laki-laki berkompetisi memperebutkan kursi  legislatif. Enam bulan merupakan waktu yang singkat, untuk dikenal dan disayang rakyat.

Dikenal dan disayang.

Kamis, 19 September 2013, bertempat di Hotel Sahid Jakarta, Kementerian Dalam Negeri bekerjasama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak mengadakan Forum Pendidikan Politik Dalam Rangka Peningkatan Kapasitas Perempuan Calon Legislatif dengan tema PeningkatanKeterwakilan Perempuan 30% di Legislatif Dalam Rangka Pencapaian target MDGs tahun 2015. Forum ini akan dibuat 10 gelombang. Sedikit catatan saya, peserta forum kedua.

Pertama, menteri tidak datang. Diwakilkan oleh sekretaris kementerian Dra. Sri Danti Anwar, MA,- dengan paparan Indeks Pembangunan Manusia dan Indeks Pembangunan Gender. Mereka menghitung hanya ada 1 Gubernur Perempuan, hanya ada 20% lebih kecil jumlah perempuan dalam lembaga-lembaga formal, yudikatif dan legislatif. Kekerasan terhadap perempuan tinggi, dengan asumsi jumlah tindakan kekerasan meninggi bisa juga jumlah kekerasan yang dilaporkan meningkat.

Antisipasi pencurian suara setelah pemilihan sempat disinggung. Hal ini dilatarbelakangi pengalaman beberapa caleg perempuan peserta yang berkompetisi di pemilu 2009. Jamak, suara dicuri oleh rekan separtai dengan kesepakatan antara panitia pemungutan suara dan KPU.

Dr. Muhammad, ketua Bawaslu yang menjadi salah satu narasumber dalam forum ini meminta bantuan peserta sekalian untuk efektif dan objektif dalam menjalankan peran dan fungsinya. Jika ada kecurangan, laporkan.  Informasi Bawaslu, bahwa menteri caleg tidak diijinkan untuk menjadi pemeran iklan layanan masyarakat institusinya pada media cetak, media elektronik atau media luar ruang 6 bulan sebelum hari pemungutan suara. Hal ini berlaku juga kepada pejabat negara, pimpinan dan anggota DPR/DPRD/DPD yang menjadi caleg. Muhammad berharap pemilu ke depan tidak ada lagi transaksi jual beli suara.

30% Kuota Perempuan

Tahun 2013. Mengenai kuota 30% parlementer, partai politik sempat mengajukan protes terkait aturan ini. Melalui ketetapan ini partai politik peserta pemilu tidak dapat mengikuti pemilihan jika kuota tidak terpenuhi.  UU Nomor 8 Tahun 2012, Pasal 59 ayat (1) yang berbunyi:"Dalam hal kelengkapan dokumen persyaratan administrasi bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 tidak terpenuhi, maka KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota mengembalikan dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada Partai Politik Peserta Pemilu".

Dalam ayat (2) disebutkan: "Dalam hal daftar bakal calon tidak memuat sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan, maka KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota memberikan kesempatan kepada partai politik untuk memperbaiki daftar bakal calon tersebut".

Kenyataannya, memang tidak mudah bagi partai politik untuk memenuhi ketersediaan 30% perempuan. Bahkan ada partai politik yang menuntut dicabutnya peraturan 30% kuota, misalnya Partai Persatuan Pembangunan dengan alasan kesulitan merekrut kader perempuan. Dalam forum ini, hadir Angel Lelga, caleg nomor 1 dari Partai Persatuan Pembangunan dapil Jawa Tengah V. Angel mengungkapkan kemudahan dirinya menjadi caleg, dan ia diharapkan bisa mendulang suara dengan popularitasnya. Ada juga Iin Sugianto, penyanyi dangdut yang menjadi caleg Gerindra. Jelas keduanya tidak terlibat dalam kaderisasi partai.

Pemilihan umum 2009 melahirkan nama-nama perempuan muda seperti Angelina Sondakh, Vena Melinda sebagai legislatif RI. Meski, kita masih punya Eva Sundari dan Rieke Diah Pitaloka, meski anggota legislatif seperti dua nama ini sangat langka. Dari nama-nama ini saya mengajak untuk membandingkan kemampuan dan keberpihakan kepada rakyat sebagai wakil rakyat. Tentunya, masih banyak nama-nama perempuan lainnya yang tidak saya catatkan. Baik yang menoreh prestasi ataupun sekedar bunyi.

Catatan saya dari forum ini. Sekaliber kementerian pemberdayaan perempuan pun tidak memiliki visi bagaimana perempuan Indonesia untuk setara. Forum hanya mengantarkan teknis cara pertarungan. Memiliki tim, membuat atribut peraga merupakan hal mendasar dari kerja pemenangan yang ternyata dalam forum ini diberi muatan.Namun seperti apakah caleg perempuan nantinya ketika menang? Bagaimana dengan keberpihakan kepada rakyat khususnya kaum perempuan, mereka tidak bisa menjelaskan.

Faktanya, di Indonesia, UU Pornografi masih saja diberlakukan. Kebijakan-kebijakan yang memenjara perempuan diberlakukan di daerah-daerah. Mulai dari tes keperawanan, cara berpakaian hingga goyang jaipongan. Perspektif maskulinitas yang mewujud dalam pendiskriminasian melalui pernyataan ataupun kebijakan.

Pemilu 2014. Mari sudahi fenomena Angelina Sondakh dan Vena Melinda. Perempuan harus berkuasa, namun juga harus bisa melepaskan diri dari subordinat patriarki. Perlawanan terhadap kapitalisme merupakan hal yang utama, agar Indonesia adil dan sejahtera.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline