Lihat ke Halaman Asli

Saheeda Noor

ASN, penulis dan editor freelance

Antara Bu Tum, Bau Prengus, dan Kopi

Diperbarui: 19 Juni 2024   15:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar: dokumen pribadi

Matahari baru sepenggalah. Di teras belakang sebuah rumah, seorang perempuan paruh baya merebahkan diri di atas dipan kecil. Dia nyaris belum berhenti dari aktivitas yang dijalaninya sejak lepas Subuh tadi. Tak jauh dari tempatnya rebahan, secangkir kopi mengepulkan uap panas, menguarkan aroma khas yang begitu kuat.

Bu Tum, panggilan untuk perempuan itu, bukanlah penyuka daging ruminansia, apalagi jika harus mengolah sendiri. Kecuali daging ayam, dia lebih memilih membeli yang siap santap. Pun ketika keluarganya sendiri yang berkurban.

Dari tahun ke tahun, keluarga Bu Tum memilih untuk berkurban bersama sebuah lembaga sosial. Lembaga itu bertanggung jawab untuk mengadakan dan menyembelih hewan kurban. Distribusi daging biasanya dikonsentrasikan untuk daerah-daerah "minus". Para shohibulqurban cukup menerima laporannya.

Tahun ini, Bu Tum juga berkurban dengan cara seperti itu. Namun, dia tetap tidak ingin melewatkan berkah yang bisa saja Allah sertakan pada daging-daging kurban yang sampai ke rumahnya.

Kemarin siang, begitu genap 3 kantong daging diterima, dia segera mengolahnya menjadi semur. Hanya olahan ini yang pas dengan selera keluarganya. Lebih ringan aroma dagingnya.

Aktivitas membuat semur sebetulnya cukup simpel dan cepat. Namun, aktivitas ikutannya membuat Bu Tum harus lebih lama berada di dapur. Mengolah daging mungkin mengasyikkan bagi orang lain, tetapi tidak baginya.

Begitu bumbu dan daging menyatu di atas wajan, dia pun cepat-cepat membersihkan dapur. Lebih lama dari biasanya karena semua perkakas yang bersentuhan dengan daging atau terkena uapnya dicuci. Tak boleh ada prengus yang tertinggal.

Dapur kembali bersih dan rapi. Tak ada aroma daging tersisa, kecuali wangi semur yang baru matang. Sayangnya, Bu Tum lupa. Uap prengus juga menempel pada bajunya. Namun, alih-alih berganti baju, dia malah rebahan sambil memejamkan mata. Capai.

Perempuan penyuka tempe ini tertidur hingga menjelang Zuhur. Terlihat lucu sekali. Hidungnya sesekali mengendus aroma prengus yang menyisakan sensasi puyeng di kepalanya itu.

Perempuan yang beberapa bulan lagi berusia setengah abad itu lupa. Tahun ini, penyembelihan hewan kurban melalui lembaga sosial yang diikutinya dilakukan di dalam kota saja. Lepas siang, ketika aroma dapur mulai normal kembali, seseorang datang menguluk salam. Mengantarkan seplastik daging kurban yang menjadi jatah keluarganya. Allahu Rabbi. Bagi Bu Tum, itu tetap terlalu banyak!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline