Lihat ke Halaman Asli

Sahat Marpaung

Seorang purnawaktu setelah berkarya 38 tahun

Kawasan Danau Toba Menjadi Wisata Kelas Dunia

Diperbarui: 26 September 2021   07:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Travel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Awalnya sebuah mimpi

Kenangan terbaru yang masih tersimpan kuat tentang Danau Toba, ketika pesawat yang kami tumpangi, Garuda Indonesia, dalam persiapan untuk mendarat, di bandara Silangit.  Lanskap di bawah, disaat musim panas Juli 2019 itu, sungguh mempesona. Kombinasi gunung, bukit dan lembah, memberi kenangan manis yang tak akan terlupakan. 

Itulah kunjungan pertama lewat udara. Beberapa kunjungan sebelumnya selalu melalui darat. Setelah mencapai Kuala Namu, lanjut ke Danau Toba lewat Berastagi. Biasanya bermalam di pulau Samosir, persis di pinggir danau. Kali itu, kunjungan tiga hari ke Balige, untuk menghadiri pesta perkawinan secara adat Batak, salah seorang keponakan.

Setelah mencoba mencermati sebanyak mungkin informasi tentang Kawasan Danau Toba, yang menjadi salah satu Destinasi Super Prioritas(DSP), termasuk menyimak vidio apik “The Heartbeat of Toba” lengkap dengan ‘Kisah di balik layar’-nya, Penulis bermimpi! Suatu saat, Danau Toba yang lebih dari alam yang mempesona, menyimpan berbagai daya tarik yang sangat memikat, menjadi pilihan untuk  wisata. Memikat wisatawan untuk datang dan kembali. 

Dan, mimpi ini, yang bukan mimpi di siang bolong. Karena sudah tertulis dalam sebuah keputusan Pemerintah yang disertai pembuatan berbagai prasana. Jembatan Aek Tano Ponggol merupakan terobosan yang sangat bermakna! Begitu pun, tentu membutuhkan berbagai ide dan rencana untuk mewujudkan mimpi itu. Untuk itu, tulisan sederhana ini mencoba ikut sumbang saran untuk menjadikan Kawasan Pariwisata Danau Toba menjadi Wisata kelas dunia.

Sumber Daya Manusia

Dalam video yang disebut di atas, ada ungkapan bahwa memasuki Kawasan Danau Toba ada tiga hal yang tak terpisahkan: alam, budaya dan manusia. Tentulah ini berlaku juga di berbagai tempat. Kali ini akan disinggung dalam konteks Toba, khususnya filosofi Budaya Batak yang dikenal sebagai “Dalihan na tolu”, tungku berkaki tiga. Sebuah tungku berkaki tiga hanya akan bisa berdiri jika ketiga kakinya utuh.

 Menurut adat, ‘struktur’ masyarakat terdiri dari tiga unsur: Hula-hula, Boru dan Dongan tubu. Penjelasan rincinya, biarlah diberikan para ahli, atau dicari melalui intenet. Untuk itu, setiap inisiatif akan diterima dengan baik jika dilakukan dengan pendekatan adat. Termasuk upaya untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan (soft skills) “pasukan terdepan”: tour guides mau pun bagian depan di tempat-tempat penginapan dan hotel. Juga, alangkah baiknya jika para penyedia souvenir disertakan dalam pelatihan jenis ini. 

Pelatihan fokus pada keterampilan yang disertai pengetahuan, dijadikan prioritas, khususnya bagaimana bersikap yang pas, sikap yang melayani terhadap wisatawan dari berbagai daerah mau pun negara. Dan, sebaiknya, pelatihan-pelatihan itu berbayar alias tidak secara cuma-cuma. Bisa saja dicarikan sponsor atau beasiswa dari tempat mereka bekerja.

Berbagai menu yang bisa disajikan

Dari lamanya waktu yang dihabiskan, pengamatan sekilas menunjukkan bahwa wisatawan bisa dikategorikan menjadi tiga. Pertama, wisatawan perorangan atau keluarga, yang umumnya berada di kawasan wisata antara tiga hingga empat hari. Kedua, kategori menengah yang menghabiskan empat bisa hingga lima atau enam hari, bisa juga lebih. Ketiga, wisatawan yang bisa tinggal lama, bisa berbulan. Misalnya para penulis atau pengarang. Penulis pernah mendengar cerita saudara mau pun teman bahwa pernah beberapa pengarang ‘tinggal’ di wilayah Toba untuk membuat tulisannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline