Saat ini, setiap bangsa dalam tatanan global cenderung bergerak (berintegrasi) dalam tatanan internasional sesuai dengan kesadaran politik dan ekonominya. Liberalisasi mengilhami proses tersebut. Karena pemahaman tersebut, sejumlah lembaga ekonomi di tingkat global seperti Bank Dunia, lembaga dana moneter internasional (IMF), Organisasi perdagangan dunia (WTO), dan banyak perusahaan multinasional (MNC) telah menjadi aktor penting seiring masifnya globalisasi. Sebaliknya, tampak pengaruh pemerintah negara (state) sebagai aktor utama dalam hubungan internasional juga semakin berkurang. Hal ini dapat terjadi karena pertumbuhan proses interaksi dan integrasi antara orang, Organisasi internasional (IGO), Organisasi non-pemerintah (NGO) dan pemerintah dari negara yang berbeda. Selain itu, perdagangan dan investasi internasional, bersama dengan kemajuan teknologi, adalah kekuatan pendorong di balik proses interaksi dan integrasi ini.
Pertumbuhan interaksi dan integrasi tidak lepas dari masifnya globalisasi ekonomi itu sendiri. Suburnya globalisasi ekonomi, tentu saja, merupakan hasil logis dari kebijakan ekonomi terbuka setiap negara, baik di dalam maupun di luar negeri (liberalisasi ekonomi). Selama Perang Dunia II, beberapa negara mengadopsi sistem ekonomi pasar bebas, memperluas kapasitas produksi mereka secara besar-besaran dan membuka berbagai prospek baru untuk perdagangan dan investasi di luar negeri. Ini dilakukan agar negara dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Kini, setiap negara memiliki kebebasan untuk menjalin hubungan kooperatif dengan dengan berbagai negara. Untuk memperluas peluang investasi sebanyak mungkin, negara-negara telah memulai negosiasi bilateral dan multilateral untuk menurunkan berbagai hambatan perdagangan dan investasi.
Akan tetapi, lambat laun liberalisasi ekonomi dan perdagangan bebas juga dapat menimbulkan masalah serius. Banyak kejadian justru menunjukkan bahwa terdapat ketidakadilan akumulasi keuntungan yang dihasilkan dari perdagangan bebas. Fenomena "declining trade" di Amerika Latin misalnya, yang menjelaskan bahwa, sesungguhnya keuntungan dari perdagangan bebas hanya dinikmati oleh negara-negara maju. Selain itu, negara-negara kuat (great power) seringkali memiliki kemampuan untuk menggunakan tekanan politik dan ekonomi untuk membujuk negara-negara berkembang agar menurunkan hambatan perdagangan mereka. Negara berkembang yang cenderung belum siap untuk bersaing di pasar kompetitif justru akan kalah dengan negara maju yang memiliki modal, SDM, dan teknologi yang lebih maju. Integrasi sistem ekonomi global yang seperti ini berisiko memicu krisis dengan dampak yang luas. Ketika ini terjadi, banyak pemerintah negara lebih suka menerapkan kebijakan proteksionis untuk mendukung pekerja dan produsen lokal. Semisal negara-negara yang termasuk ke dalam anggota G20, dalam beberapa kesempatan juga kerap memberlakukan pembatasan perdagangan dan investasi internasional, meskipun perjanjian tertulisnya sudah dibuat. Istilah ini sering digunakan dalam konteks ekonomi; dalam ilmu ekonomi, proteksionisme mengacu pada kebijakan atau doktrin yang membatasi atau mengatur perdagangan internasional untuk melindungi bisnis dan pekerja domestik.
Kebijakan proteksi perdagangan atau yang dikenal sebagai proteksionisme (perlindungan perdagangan) merupakan inisiasi pemerintah yang bertujuan untuk membatasi perdagangan internasional melalui langkah-langkah seperti tarif barang impor, pembatasan kuota, dan aturan lain yang dimaksudkan untuk menghentikan impor dan persaingan asing di pasar domestik (Regine A.N.Fouda, 2012). Dengan mengambil langkah-langkah untuk membatasi arus ekspor dan impor barang dan jasa, seperti tarif barang impor, batasan kuota, dan peraturan pemerintah lainnya yang bertujuan untuk melindungi perekonomian domestik, pemerintah suatu negara dapat memperketat perdagangan atau mengurangi persaingan dengan negara lain. Beberapa tindakan yang umummnya digunakan untuk melindungi perdagangan adalah seperti bea masuk, subsidi, kuota, pelabelan, dan standar keamanan dan kesehatan produk. Tujuannya adalah untuk melindungi kepentingan ekonomi domestik, seperti produsen lokal, dari persaingan dengan produk impor.
Kebijakan proteksionisme pernah beberapa kali dilakukan oleh Indonesia. Misalnya pada KTT G-20 tahun 2009 di London, 17 dari 20 negara yang hadir dalam pertemuan tersebut menyepakati untuk melakukan proteksionisme.Sehubungan dengan hal tersebut, Indonesia merupakan salah satu negara yang diduga melakukan praktek proteksionisme tersebut. Pertemuan International Chamber of Commerce (Kadin Internasional) dalam KTT G-20 menghasilkan catatan bahwa 17 negara dianggap akan bergerak ke arah proteksionisme. Alasan utamanya adalah untuk menjaga keamanan ekonomi masing-masing anggota sebagai akibat krisis keuangan global di tahun 2008. Kemudian, Mulai tahun 2020 yang lalu, Indonesia memberlakukan larangan ekspor bijih nikel. Tujuannya untuk mendukung hilirisasi produk nikel dalam negeri dan meningkatkan harga produk nikel. Karena kebijakan ini dianggap diskriminatif dalam perdagangan internasional dan melanggar prinsip-prinsip perdagangan bebas, maka Uni Eropa mengajukan gugatan terhadap Indonesia di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Akibat larangan ekspor bijih nikel tersebut Indonesia didakwa oleh Eropa telah melanggar kesepakatan yang sebelumnya telah diratifikasi dalam WTO. Larangan ekspor nikel dalam hal ini dipandang sebagai tindakan proteksionis. Tindakan proteksionis Indonesia ini diambil guna meningkatkan aktivitas ekonomi domestik, tidak hanya itu, tetapi juga dapat digunakan untuk mengatasi masalah keamanan atau kualitas produk domestik.
Kebijakan proteksionisme menyebabkan polemik dan dinamika dalam tatanan ekonomi politik global. Kebijakan ini sebenarnya akan merusak perdagangan bebas karena pemerintah akan memperketat pembatasan perdagangan internasional. Proteksionisme dan penentangan liberasilasi ekonomi kerap dianggap sebagai diskriminasi terhadap imigrasi dan globalisasi. Di sisi lain arus globalisasi menjadi semakin terintegrasi di dunia modern.
Fenomena proteksionisme juga memancing debat di kalangan akademik. Menurut para kritikus, menerapkan proteksionisme secara luas sama saja dengan menghasilkan alokasi sumber daya yang tidak efisien. Kebijakan seperti itu hanya akan menyebabkan distribusi sumber daya global yang tidak efektif. Kebijakan ini mungkin membantu satu satu pihak dan sambil merugikan pihak di sisi yang lain. Sebenarnya, visi liberalisasi ekonomi Adam Smith juga didasarkan pada inovasi, keunggulan, dan daya saing. Namun, proteksionisme justru akan mendorong kemalasan di kalangan produsen lokal. Bagi mereka untuk tetap kompetitif di pasar global, kebijakan pemerintah menjadi sangat penting. Sehingga menyebabkan efek yang bergantung penuh kepada kebijakan pemerintah. Proteksionisme juga merugikan bisnis domestik. Industri tidak melihat perlunya inovasi tanpa adanya persaingan asing. Produk mereka segera menurun kualitasnya, sementara menjadi lebih mahal daripada pesaing impor dengan kualitas unggul. Proteksi menghambat pertumbuhan ekonomi domestik dengan membuat industri yang terlalu mengandalkan kekuatan pemerintah menjadi kurang kompetitif dalam perdagangan internasional. Tidak hanya produsen, proteksionisme juga membuat konsumen dalam negeri merugi. Mereka diharuskan membayar lebih. Selain itu, mereka memiliki lebih sedikit pilihan. Beberapa barang impor mungkin memiliki fitur yang tidak terdapat pada barang dalam negeri. Terakhir, banyak pendapat juga menyatakan bahwa proteksionisme juga dapat memicu sengketa dagang antar negara. Persaingan dagang kemudian dilanjutkan dengan pembalasan kepada negara mitra akan menyebabkan apa yang kita sebut sebagai "perang dagang". Mengambil contoh perang dagang AS dan Tiongkok, mantan PM Australia, menyatakan bahwa proteksionisme tidak akan membawa keuntungan bagi negara yang memberlakukannya. Terlebih di era keterbukaan dan teknologi saat ini.
Referensi :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H