Lihat ke Halaman Asli

Sahari Enwe

Guru Bahasa Indonesia di SMP Negeri 5 Sangatta Utara, Kutai Timur, Kalimantan Timur. Mulai menekuni dunia kepenulisan sejak 2020. Telah menerbitkan 4 buku tunggal dan 22 buku antologi bersama.

Pentingnya Pendidikan Toleransi di Sekolah

Diperbarui: 26 Desember 2023   12:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

PENTINGNYA PENDIDIKAN TOLERANSI DI SEKOLAH
Sahari Nor Wakhid

Toleransi merupakan hal yang masih diperjuangkan di Indonesia. Bagaimana tidak, banyak kasus intoleransi yang masih kita jumpai saat ini. Kasus intoleransi di dunia pendidikan terjadi di beberapa wilayah Indonesia sejak 2014. Ada beberapa sekolah negeri yang melarang penggunaan jilbab. Ada pula yang mewajibkan seluruh siswi memakai jilbab. Padahal sejatinya, sekolah harus dapat menaungi semua kalangan dari berbagai suku dan agama. Sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berbunyi, "Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa."
Menurut KBBI, toleransi berasal dari kata "toleran" yang artinya bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) menjelaskan bahwa toleransi meliputi sikap saling menghormati secara tulus, penerimaan dan akomodasi, menghormati perbedaan pribadi dan budaya, resolusi konflik yang damai, dan penghargaan terhadap keanekaragaman budaya, menghormati kelompok minoritas dan orang asing, memiliki selera humor, sopan, ramah, dan keterbukaan pikiran.

Cakupan toleransi yang dikemukakan oleh UNESCO dapat dikatakan sangat lengkap untuk menggambarkan arti toleransi secara sederhana. Cakupan sikap tersebut menjadi cerminan dari sikap toleransi di tengah masyarakat yang beraneka ragam budaya, bahasa, adat istiadat, agama, dan kepercayaan.
Pendidikan toleransi sejatinya dipraktikkan dalam proses pembelajaran dan menjadi budaya dari dunia pendidikan. Sekolah dan lembaga pendidikan lainnya seharusnya menjadi tempat yang aman dalam menghadirkan serta mendukung nilai dan sikap toleransi. Setiap insan pendidikan, baik guru maupun siswa, harus memiliki prinsip menghargai perbedaan, mengapresiasi keragaman, dan menguatkan nilai-nilai kebangsaan.

Para guru dapat memasukkan unsur pendidikan toleransi pada mata pelajaran apa pun, tidak hanya pelajaran pendidikan kewarganegaraan atau pendidikan agama saja. Sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2016 tentang Penilaian, yang mengamanatkan bahwa setiap mata pelajaran memberikan nilai sikap spiritual dan sosial yang di dalamnya memuat nilai toleransi. 

Selain itu, pendidikan toleransi tidak hanya dikemas sebagai teori saja tetapi juga dipraktikkan sehingga para siswa dapat melihat dan merasakan secara langsung bentuk dari toleransi itu sendiri.

Selain para guru, sekolah juga dapat memberikan pendidikan toleransi melalui penguatan pendidikan karakter (PPK). Hal ini sesuai dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter Pasal 3 yang berbunyi, "PPK dilaksanakan dengan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam pendidikan karakter terutama meiiputi nilai-nilai religius, jujur, toleran, disiplin, bekerja keras, kreatit mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan bertanggung jawab."
Penguatan pendidikan karakter di sekolah inilah yang kiranya dapat menjembatani pendidikan toleransi. 

Dengan menguatkan karakter siswa akan toleransi, secara tidak langung akan membentuk pola pikir siswa akan arti toleransi yang sebenarnya. Oleh karena itu, wadah yang tepat untuk membentuk pola pikir siswa adalah dengan pendidikan. Karena sejatinya, pendidikan merupakan sarana yang mampu mengubah pola pikir anak bangsa dan turut menciptakan agen-agen pencipta perubahan (agent of change). Pendidikan yang ideal menjunjung tinggi sikap toleransi akan keberagaman, kesetaraan, kreativitas, dan daya inovatif. Pendidikan toleransi dinilai sebagai cara yang efektif dalam menumbuhkembangkan kesadaran untuk menghargai keberagaman.

Pendidikan toleransi di sekolah perlu diprogramkan secara khusus agar pembiasaannya dapat diawasi dan dievaluasi. Program yang dibuat di sekolah perlu disepakati bersama dengan para guru. Program ini mengacu pada nilai toleransi apa saja yang nantinya akan diterapkan. Misalnya, tidak membuat gaduh suasana sekolah, menghargai perbedaan pendapat teman, mematuhi tata tertib sekolah, menghargai teman yang sedang beribadah, tidak membedakan suku, agama, ras, dalam menjalin pertemanan, dan masih banyak lagi aspek yang dapat diterapkan.

Setelah program tersebut disepakati bersama, selanjutnya dilakukan pengawasan terhadap pelaksanaannya. Dalam pelaksanaan, perlu strategi tertentu agar tidak sekadar berbentuk pengamatan. Pelaksanaan inilah yang menjadi poin terpenting pembiasaan atau penguatan karakter toleransi. Siswa memerlukan pengalaman belajar agar dapat diingat sepanjang hidupnya. Bukan sekadar teori saja. Jadi, aspek nilai toleransi yang akan dilaksanakan harus hadir dalam proses pembelajaran dan dapat dipraktikkan.

Misalnya, guru ingin menerapkan aspek 'tidak membedakan suku, agama, ras, dalam menjalin pertemanan'. Dalam proses pembelajaran, guru dapat membagi kelompok belajar secara acak dengan menyiapkan kertas bernomor satu sampai empat. Selanjutnya, kertas bernomor digulung atau dilipat. Guru menggenggam kertas tersebut dan meminta setiap siswa mengambil nomor secara bergantian. Siswa membuka dan menyebutkan nomor yang didapat. Hal terakhir, guru meminta siswa mengelompok sesuai dengan nomor yang didapat tadi. Terciptalah empat kelompok yang beragam. Hal ini menunjukkan bahwa guru sudah menerapkan nilai toleransi dalam pembelajaran.

Tidak hanya itu, misalnya, guru ingin menerapkan aspek 'menghargai perbedaan pendapat teman'. Dalam proses pembelajaran, guru dapat berperan sebagai fasilitator dengan menjadi moderator saat diskusi atau presentasi, baik kelompok maupun individu. Ketika terjadi perbedaan pendapat, guru dapat menengahi sekaligus meluruskan permasalahan yang terjadi.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline