Lihat ke Halaman Asli

Pengaruh Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Ketenagakerjaan

Diperbarui: 5 Juli 2019   22:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bandar Lampung -- Salah satu undang-undang yang paling banyak dilakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi adalah Undang-Undang Ketenagakerjaan. Akan tetapi hingga saat ini Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut belum juga ditindak lanjuti oleh Presiden atau DPR-RI dalam bentuk revisi, perubahan atau menggantinya. Sudah berapa banyak waktu, tenaga dan biaya yang dikeluarkan oleh para pihak sejak dimulainya pendaftaran sampai pembacaan putusan. Namun, semuanya itu hanya tersimpan dalam berita negara saja. Perlu kita sadari, apabila suatu undang-undang yang dilakukan judicial review yang telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi jika tidak segera ditindak lanjuti, maka selama itu-lah undang-undang tersebut mengambang.

Sehubungan dengan hal tersebut, saya mencoba menelaah dasar-dasar hukumnya, sebagai berikut:

Adapun kewenangan Mahkamah Konstitusi terdapat 4 (empat) jenis sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003, yaitu a). menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945; b). memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Tahun 1945; c). memutus pembubaran partai politik, dan d). memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Jika kita telaah ketentuan tersebut terdapat satu ayat untuk "menguji" dan tiga ayat untuk "memutus". Kata "menguji" tentu berbeda dengan kata "memutus". Apabila ada seseorang diminta oleh orang lain untuk menguji sesuatu, dan ternyata hasil yang diuji tersebut tidak segera ditindak lanjuti, maka hasil yang diuji tersebut tidak bermanfaat. Berbeda dengan kata "memutus", apabila ada seseorang diminta oleh orang lain untuk memutus sesuatu, maka yang diputus tersebut tidak berguna lagi atau tidak dapat dipergunakan lagi.

Selanjutnya, adapun amar Putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2011 tentang perubahan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa bunyi amar putusan adalah "tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat". Yang maksudnya adalah pasal atau ayat yang diuji materil tersebut bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Oleh karena dinyatakan "tidak mengikat", berarti putusan tersebut hanya bersifat "declaratoir"  yang maksudnya hanya sekedar menerangkan atau menetapkan suatu keadaan tertentu saja, sehingga tidak dapat dilakukan eksekusi. Hal ini berbeda dengan 3 kewenangan yang lainnya karena menggunakan kata "memutus". Kalau kata memutus, berarti tidak dapat dipergunakan lagi, sehingga dapat segera dilakukan eksekusi.

Mengapa UU yang dilakukan judicial review dan telah diputus oleh MK tidak dapat langsung dieksekusi ?. Karena, Pasal 57 ayat (2a) huruf b UU No. 8 Tahun 2011 menyatakan Putusan Mahkamah Konstitusi tidak memuat perintah kepada pembuat undang-undang.

Kemudian, Pasal 10 ayat (1) huruf d UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang berisi tindak lanjut atas Putusan Mahkamah Konstitusi. Dan, Pasal 10 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan tindak lanjut atas Putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan oleh DPR atau Presiden. Dengan demikian, apabila DPR atau Presiden tidak segera menindak lanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka selama itu-lah pasal atau ayat UU tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat atau mengambang untuk selamanya.

Oleh karena pasal atau ayat UU Ketenagakerjaan yang telah dilakukan uji materil tidak langsung ditindak lanjuti oleh DPR-RI atau Presiden, dan guna mencegah terjadinya kekosongan hukum atau perbedaan penafsiran bagi hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perselisihan hubungan industrial, maka Mahkamah Agung menerbitkan beberapa Surat Edaran sebagai pedoman bagi hakim untuk memutus perkara yang ditanganinya, misalnya:

SEMA No. 03 Tahun 2015 pada huruf B Rumusan Hukum Kamar Perdata pada Nomor Urut 2 Perdata Khusus huruf b, menyatakan dalam hal terjadi PHK terhadap pekerja/buruh karena alasan melakukan kesalahan berat ex Pasal 158 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Pasca Putusan MK No. 012/PUU-I/2003, tanggal 28 Oktober 2004), maka PHK dapat dilakukan tanpa harus menunggu putusan pidana berkekuatan hukum tetap (BHT). Padahal Putusan MK menyatakan pengusaha tidak boleh melakukan PHK karena kesalahan berat sebelum adanya putusan pidana umum yang berkekuatan hukum tetap.

SEMA No. 03 Tahun 2015 pada halaman 3 Nomor Urut 2 Perdata Khusus huruf f, menyatakan Putusan MK  Nomor 37/PUU-IX/2011, tertanggal 19 September 2011 terkait dengan upah proses, maka isi amar putusan adalah menghukum pengusaha membayar upah proses selama 6 bulan. Padahal Putusan MK menyatakan upah proses harus dibayar sampai berkekuatan hukum tetap.

Yang menjadi pertanyaan adalah apakah Surat Edaran Mahkamah Agung termasuk dalam hirarki ketentuan peraturan perundang-undangan ?. Jawabannya adalah tidak termasuk, karena sifat surat edaran adalah memberitahukan. Pertanyaan berikutnya adalah apakah hakim wajib mematuhi Surat Edaran Mahkamah Agung ?. Jawabannya adalah wajib, karena yang diberitahukan adalah Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung sebagai pedoman pelaksanaan tugas bagi pengadilan yang bertujuan untuk terciptanya kesatuan hukum guna mencegah terjadinya perbedaan pendapat agar tidak terjadi inkonsistensi putusan.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, saya berpendapat bahwa apabila DPR-RI atau Presiden tidak segera menindak lanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi baik dalam bentuk revisi, perubahan atau menggati UU Ketenagakerjaan, maka pekerja/buruh dan pengusaha dapat menggunakan atau tidak menggunakan Putusan Mahkamah Konstitusi sebagai dasar hukum dalam pembuatan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan dapat juga digunakan atau tidak digunakan sebagai dalil-dalil jika berperkara di pengadilan hubungan industrial. Demikian juga bagi hakim yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara perselisihan hubungan industrial dapat menggunakan atau tidak menggunakan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline