Lihat ke Halaman Asli

S A Hadi

Sholikhul A Hadi

Mawar

Diperbarui: 1 Februari 2020   22:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

karitur.blogspot.com

"Kamu ingin bertemu siapa?" Tanya perempuan itu kembali.
" Bapak Rakian." Jawabku mengulang nama itu untuk yang kesekian kalinya.
Perempuan muda dengan kemeja dan rok pendek warna coklat itu kembali mengangkat telponnya dan berbicara dengan rekannya. Nada suaranya memang dipelankan, mungkin dengan maksud agar Aku tidak mendengar pembicaraan mereka. Tetapi pada akhirnya aku tahu tentang kebingungan yang  dialaminya setelah dia mencoba meyakinkanku, "Anda Benar ingin bertemu dengan Bapak Rakian?"
" Ya.. " Jawabku mantab.
" Silahkan tunggu di ruang tamu! Pak Lewar akan segera menemui Anda."
"Lewar?" Tanyaku kaget.
"Maaf, Rakian maksud saya."
Begitulah awal mula aku mengetahui bahwa di perusahaan itu Rakian dipanggil dengan sebutan Lewar. Sebuah sebuatan yang bahkan terdengar asing bagiku yang telah 14 tahun berteman dengannya.
"Hei.. apa kabar?" Sapanya padaku Saat baru saja membuka pintu ruang tamu. Dia duduk tepat di sampingku sambil menjelaskan tentang segala pekerjaannya. Kami  sama-sama kuliah di akutansi, dan sangat wajar jika kerjaan Rakian sebagai akuntan  berurusan dengan berbagai dokumen dan pencatatan keuangan. Tetapi itulah yang selalu diulang-ulangnya.
"Bukankah itu memang pekerjaanmu sebagai akuntan?" Tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Iya dan Aku sangat menikmatinya .... " Pembicaraannya kembali pada topik semula. Dia tampak antusias  dengan ceritanya yang mampu membangun sistem pencatatan di perusahaannya menjadi lebih mudah. Dia telah mendapat banyak penghargaan dari grup perusahaannya terkait inovasinya itu. Mendapat banyak piagam yang tercantum namanya sebagai salah satu pemilik ide brilian.
Bagaiku, semua yang didapatkannya sangatlah wajar. Dia sejak dulu memang sering mendapatkan penghargaan dari lomba karya ilmiah. Hanya dia satu-satunya temanku yang
aktif dalam kegiatan-kegiatan ilmiah. Mungkin pula atas dasar itu aku tertarik untuk mengajaknya bergabung pada perusahaan rintisanku. Aku mencoba menyodorkan kartu namaku untuk menghentikan omong kosongnya.
Kami terdiam cukup lama sampai seorang office boy menanyakan minuman ke kami. "Mau minum apa Pak?"
"Kopi hitam tanpa gula." Jawabku santai.
Tampak wajah office boy yang  merasa aneh dengan seleraku. Setidaknya begitulah ekspresi orang yang pertama kali mengetahui kalau di dunia ini ada orang yang tahan merasakan kepahitan kopi saset tanpa gula.
"Kamu CEO dari perusahaan ini?" Rakian menunjuk tulisan yang dicetak tebal disisi atas kartu namaku.
"Iya. Aku ingin mengajakmu bergabung Lewar. Walaupun karirmu di sini sangat cemerlang."
"Kamu memanggilku Lewar?" Rakian menundukkan kepalanya.
Sangat jelas Kami merasa sama-sama kebingungan saat itu. Aku bingung karena dengan tidak sengaja memanggilnya dengan nama yang ingin disembunyikan dariku. Sedangkan dia mungkin bingung karena merasa aku telah melakukan riset terhadapnya.
"Mengapa kamu dipanggil Lewar?" Tanyaku untuk memastikan kepadanya bahwa aku belum melakukan riset .
Dengan hati-hati dia mencoba menjawab pertanyaanku. Tetapi tampak dari raut mukanya, tersirat sebuah perasaan tersiksa yang nyata. Aku yakin dia tidak ingin aku mengetahui kisah Lewar dari orang lain. Itulah yang membuatnya merasa tersiksa  saat mengetahui diriku memanggilnya Lewar. "Kamu yakin ingin mengetahui kisahnya?"
Aku menganggukkan kepala.
"Coba baca die Weie Rose. Nanti malam Aku akan menghubungimu dan menemuimu."
"Tetapi minumannya belum datang." Jawabku mencoba mengulur waktu.
Dia pergi meninggalkanku sendiri di ruangan itu dan dengan terpaksa aku harus pergi juga.
Kami bertemu di warung kopi Cak Liek, sisi Timur kampus tempat dahulu Kami biasanya menghabiskan waktu bersama. Aku duduk menghadap ke jalanan mengamati kendaraan lalu-lalang, menantikan kehadirannya. Dia memang sering terlambat jika diajakan bertemu oleh teman dekatnya. Aku memahaminya dan walaupun dia selalu datang lebih dahulu saat bertemu orang lain, aku tidak pernah merasa iri. Baginya, cara dia mengistimewakan teman dekatnya adalah dengan datang terlambat.
"Hei.. sudah lama?" dia menepuk pundakku Dari belakang.
Dia duduk di sampingku, berbicara tentang segala hal yang tidak tentu arahnya. Bercerita tentang batu besar di tol Cipali yang konon tidak bisa dipindahkan, tentang negara yang menaikkan cukai rokok, tentang berbagai analisanya mengenai cebong-kampret. Mungkin dia beraharap mendapatkan respon dariku hingga melahirkan sebuah diskusi kecil layaknya saat kami sama-sama hidup sebagai aktifis kampus.
"Aku sudah muak dengan kehidupan mereka semua. Aku datang kesini hanya ingin mendengarkan cerita tentang Lewar. Aku harap kamu menghormati keinginanku itu." Ucapku tegas.
Dia kelihatan gusar. Matanya memandang kekanan dan kekiri. Tatapannya tampak kosong. Dan mulai muncul keringat keringat kecil Di dahinya. "Dari mana Aku harus memulainya?"
"Lewar."
Tatapannya meneropong jauh melewati pundakku dan mulutnya mulai bercerita.
Suatu pagi aku terbangun Dari tidurku dengan keadaan yang sangat buruk. Itu adalah hari dimana Sasi meninggalkanku dan memilih untuk menikahi Hardian teman SMA nya yang kini telah menjadi seorang manajer di sebuah perusahaan multinasional.  Dia begitu bahagia Saat meninggalkanku dan sebaliknya, harapanku yang besar padanya membuatku terpukul.
Semua kenanganku tentang Sasi keluar begitu saja dari ingatanku. Momen saat aku menyatakan cinta padanya. Momen saat aku melamarnya. Momen saat Kami bersama di sebuah pantai dengan latar senja yang menghidupkan nuansa sore itu.
Aku telah melamarnya selama tiga tahun. Aku berjanji akan menikahinya setelah uangku cukup, tetapi gajiku sebagai staf yang masih kecil mengakibatkan simpananku belum juga terkumpul banyak. Aku tidak bisa berbuat banyak.
Prestasi demi prestasi yang aku dapatkan nampaknya tidak dapat mendongkrak karirku. Di negara ini, karir seseorang sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk menjilat atasannya. Aku tidak bisa melakukan itu. Hasilnya akupun tersisihkan. Teman-teman ku telah banyak yang merangkak naik dan sedangkan Aku Masih tetap diposisi yang sama sejak sepuluh tahun lalu. Aku muak dengan pekerjaanku, tetapi Aku tidak bisa mengundurkan diri. Uang simpananku Masih belum cukup untuk dipakai mencari kerja lagi. Lagi Pula seorang staf akan kesusahan mencari kerja yang bukan staf. Kebanyakan lowongan hanya untuk orang dengan jabatan sepadan.
Aku kehilangan arah dan akhirnya aku putuskan juga untuk menarik uang tabunganku dari bank. Uang tersebut lah yang kemudian aku jadikan sebagai modal untuk menyewa rumah dan menanam mawar putih. Aku merawat bungaku dengan segenap kemampuanku.
"Kamu sudah membaca die Weie Rose?" Tanyanya.
"Sudah. Hanya sekilas."
"Apa yang kamu tahu tentangnya?"
"Sebuah gerakan protes atas keadaan yang ada." Jawabku.
"Aku melakukan hal yang sama. Bukankah seseorang harus berkorban untuk budaya masyarakat yang lebih baik?"
"Aku sepakat denganmu."
Tatapannya kembali kosong dan tubuhnya mulai bergetar. Dia tampak kebingungan mencari kata-kata yang Pas untuk menjelaskan kisahnya.
Aku belajar merangkai bunga-bunga. Belajar membuat buket bunga dari YouTube. Membeli pita dan kertas. Aku pilih pita dan kertas warna putih sebagai latar belakang buket yang aku buat.
"Untuk apa kamu membuat semua itu?"
" Membawanya ke Kantor. Itulah mengapa Aku dipanggil lewar atau Lelaki Mawar. Karena tiap hari Aku membawa Bunga mawar ke Kantor."
Aku tidak tega ketika hendak melanjutkan pertanyaanku. Aku beraharap dia memaafkan kelancanganku yang telah memanggilnya dengan nama itu.
"Aku ingin menceritakan tentang Lewar sekarang "
Aku menganggukkan kepala tanda setuju.
Lewar, sebuah karakter dengan ketekunan dan semangat kerja yang tinggi. Dia berjalan dengan sangat cepat, berpakaian rapih dan tidak lupa membawa sebuah buket bunga Di tangan kirinya ketika berangkat kerja. Setiap orang baru yang melihatnya akan tertarik untuk membicarakanya. Banyak hal yang menarik untuk dibahas darinya. Pakaian dengan warna cerah dan mencolok. Seorang lelaki berotot kekar dengan Bunga di tangannya. Seorang perjaka Tua tentunya. Lewar sendiri tidak akan pernah mendengarkan pembicaraan semacam itu.
Lewar telah empat tahun membawa mawar ke kantor dan menaruhnya di rak dekat tempat duduknya. Terkadang bunga itu layu dan berakhir di tempat sampah. Terkadang diambil oleh rekan kerjanya untuk diberikan kekasihnya atau dipajang di kamar kosnya. Lewar tidak pernah memedulikan itu semua. Dia hanya peduli pada buket bunga mawarnya.
Buket bunga itu harus tampak rapih. Memiliki lipatan yang jumlahnya sesuai dengan tahun dia kerja di perusahaan. Memiliki pita dengan warna putih dengan jumlah bunga di dalamnya sama dengan jumlah tahun dia bekerja dikalikan dua.  
"Siapa yang memperdulikan detail semacam itu?" Tanyaku.
" Aku Rasa tidak ada. Tetapi aku mengalami masalah di sana. Bagaimana aku harus mempertahankan jumlah bungaku tiap hari?"
"Bagaimana?" Tanyaku.
"Aku mengaturnya dengan rekayasa pupuk dan perangsang. Aku menemukan caranya dari internet."
"Untuk apa kamu melakukan itu?" Tegasku.
"die Weie Rose"
"Ah, sudahlah. Kamu ingin bergabung denganku? Aku akan menggajimu dua sampai lima kali lipat gajimu Di sana."
"Aku sudah mengundurkan diri sore tadi."
"Berarti kamu tertarik untuk bergabung denganku?"
"Mereka menawariku gaji yang tinggi untuk menjadi kepala cabang di Balikpapan. Aku menolaknya. Aku ingin menanam bungaku di desa." Jawabnya sambil tertawa lebar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline