Lihat ke Halaman Asli

S A Hadi

Sholikhul A Hadi

Mengenang Said untuk Munir

Diperbarui: 8 Oktober 2019   13:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kedatanganmu ke rumah kecilku ini tidak akan merubah keputusanku. Masih sama seperti sepuluh tahun lalu ketika kamu mendatangiku di warung dekat lapangan sepak bola samping kantor kecamatan dengan menyodorkan anggur gepengan padaku, sebagai teman kita berbincang. Memang kantor kecamatan telah dipindah dan aroma anggurnya telah menguap, tetapi keputusanku sebagai seorang lelaki tetap tidak dapat berubah. Bukankah seorang lelaki harus selalu memegang kata-katanya?

Kamu terus saja memaksaku untuk bergabung. Katamu "Seorang lelaki harus mengambil jalan perjuangannya." Akupun sepakat denganmu. Pendapatku itu telah aku jelaskan pula padamu bahwa sebagai pejuang, diriku tidak perlu kamu ragukan lagi.

Kita sama-sama dibesarkan di lingkungan pejuang. Kepribadian kita sebagai pejuang telah ditempa sejak masih belia. Ketika kita masih sama-sama hidup bersama keluarga. 

Sebagai anak dari tokoh masyarakat tentu kamu memahami dengan jelas apa yang aku maksudkan. Tiap hari orang tua kita selalu mencontohkan agar mendahulukan kepentingan masyarakat katimbang pribadi. Aku rasa itulah pendidikan paling pokok atas peran individu dalam masyarakat yang menjadi pondasi perjuangan kita.

Waktu  SMA kita juga berusaha tumbuh layaknya pejuang. Mengkritik sesuatu yang tidak patut dan membenarkan sesuatu yang salah. Membaca buku-buku filsafat layaknya para pemikir. Menonton film-film para aktivis yang mimiliki jalan berbeda dari lingkungannya.

Kamu tentu ingat momen-momen saat pertama kalinya kita menonton Schindler's List di ruang Osis. Kita bertiga berpura-pura mengerjakan proposal untuk mendapatkan waktu khusus memakai komputer Osis. Tepat ketika tengah malam saat tukang kebun sekolah telah tidur terlelap, Said tersenyum sambil menyodorkan sebuah kaset CD. "Kaset apa ini Id? Kenapa harus menontonnya semalam ini?" Tanyamu penasaran.

"Film Bokep. Aku mendapat hadiah dari kakak sepupuku yang kuliah di kota." Said tersenyum.

Aku segera mengambil kaset itu dengan harapan isinya sesuai. Hanya saja, ternyata isinya berbeda. Film mengenai Perang Dunia II itu terasa menyiksa pikiranku. Bahkan momen ketika adegan-adegan erotis dipertontonkanpun terasa tidak menggoda. Pikiranku lebih terfokus pada sosok anggota Nazi yang mencoba menyelamatkan orang Yahudi dengan mendirikan sebuah perusahaan. Aku masih mengingat jelas ekspresi wajahmu yang terkagum-kagum menyaksikan kebaikan Liam Neeson, yang memerankan Oskar Schindler.

Kembali pada malam kunjunganmu ke rumahku dua minggu lalu. Ketika Kamu mengangkat cangkir kopi yang telah dihidangkan oleh istriku dengan mata penuh kekhawatiran, segera aku simpulkan bahwa dirimu takut mengalami apa yang telah menimpa Said. Maka aku yakinkan dirimu bahwa permohonanmu akan dipertimbangkan, barulah kamu minum kopi itu. "Maaf, aku orang yang harus mendapatkan jawaban sebelum memakan atau meminum sajian yang diberikan tuan rumah." Katamu tertawa.

Said memang teman terbaik kita. Berkat dia nama kita dikenal oleh seluruh sekolah. Dia selalu memiliki daya tarik tersendiri bagi orang-orang di sekitarnya, yang memudahkannya untuk bergaul dengan siapapun yang dia inginkan. Namanya begitu cepat terkenal di manapun kita berada.

 "Aku tidak ingin seperti  Said,"  Terangmu kepadaku. Kamu angkat kaki kananmu dan melipatnya di atas kak kirimu. "Bukankah kamu ingin melanjutkan semua perjuangan Said?" Bisikmu menggoda.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline