Lihat ke Halaman Asli

S A Hadi

Sholikhul A Hadi

Terlilit Kain Kerudung

Diperbarui: 6 Maret 2019   11:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto diambil oleh Julie Covington

Gemuruh suara pendingin ruangan menjadi satu-satunya suara yang terdengar di kamar itu. Udara dingin yang dikeluarkannya terasa menusuk tulang melewati pori-pori kulit Tresno. Dia terbangun dan menarik selimut tebal berwarna putih, yang berada di bawah kakinya ke atas hingga lehernya. Dia terperanjat ketika tangan lembut seorang wanita memeluk tubuhnya.

Dia sibak selimutnya hingga tampak wajah seorang wanita dengan rambut keriting, kulit putih, riasan alis yang tampak hitam pekat, hidung mancung, lipstik merah muda yang tinggal separuh dan sebuah anting emas dengan hiasan permata ditengahnya. Penampakan wanita itu bagaikan seorang artis yang biasanya singgah dalam mimpi-mimpi yang selalu ditunggunya. Mimpi yang hadir setelah dirinya tertidur dalam pengaruh alkohol.

Tresno baru teringat jika dirinya semalam dalam pengaruh yang sama setelah minum bersama dengan teman-temannya di warung dekat proyek. Bahkan dirinya lupa bagaimana bisa berada di kamar itu. Dia pejamkan matanya sambil mengenang sosok zaid, yang mengantarkannya ke hotel itu dengan menggunakan sepeda motor. Ketika Zaid menurunkannya di depan hotel, dia berkata "Kamu nanti tinggal masuk saja ke kamar nomer 301 di lantai tiga. Ini kunci kamarnya." Zaidpun kemudian pergi meninggalnya. 

Tresno sama sekali tidak ingat bagaimana dirinya berjalan dari lobi hotel ke kamarnya atau bagaimana dia pertama kali bertemu dengan Wanita yang sekarang masih tertidur pulas di sampingnya dan atau apa yang telah dilakukannya bersama dengan wanita itu setelah dia sampai di kamar. Tresno mengucek matanya untuk memastikan dirinya tidak berada dalam dunia mimpi.

Tresno sambut pelukannya dengan mendekap tubuhnya. Rasa hangat yang menjalar keseluruh tubuhnya dan rasa nyaman yang menyelubungi pikirannya melelehkan air mata yang mengalir bersamaan dengan hangat napas wanita menyentuh kulit dadanya. Dia teringat pada istrinya di desa. Dia terkenang pada malam terakhir sebelum dirinya meninggalkan desa untuk merantau ke kota. 

Dengan latar udara dingin pegunungan yang mencengkram tubuhnya dan dengan posisi yang kurang lebih sama dengan pagi itu. Ingatannya tentang desa mendadak berhamburan mengisi seluruh ruang kosong dalam pikirannya. Bayangan anak kembarnya Yanti dan Yanto yang mungkin saat ini sudah berusia enam belas tahun. Bayangan tentang rumahnya yang entah bagaimana sekarang kondisinya. Bayangan tentang jajaran perbukitan yang tiap pagi tertutup kabut tipis. Semuanya terasa begitu menyayat hatinya.

Terpampang sebuah wajah lelaki muda yang kebingungan mencari biaya bersalin istrinya di rumah sakit ketika dukun bayi dan bidan tidak berani menanganinya. Dia berlari keliling ke tetangga-tetangga untuk mencari hutang bersamaan dengan keberangkatan istrinya ke rumah sakit yang diantar oleh orang tuanya. Dia berharap dapat membayar biaya operasi istrinya sebelum anaknya lahir.

Memang pada akhirnya dia berhasil mengumpulkan uang operasi dengan meminjam uang pada semua tetangganya yang satu RT. Tiap orang dia pinjami seratus ribu hingga lima ratus ribu sebagaimana kemampuan mereka. Diapun telah berada di sisi istrinya ketika operasi sedang berjalan.

Semua tampak berjalan lancar pada mulanya. Uang yang dipinjamnya sebagian besar telah terbayar tetapi Susu kedua anaknya dan sisa sebagian hutang yang dimilikinya terasa semakin membebaninya. Puncaknya terjadi pada bulan ketiga ketika sawahnya gagal panen di saat janjinya untuk mengembalikan sisa pinjaman yang telah jatuh tempo. Dia telah berusaha untuk mencari pinjaman untuk menutupnya dan memperpanjang napasnya. Namun tidak seorangpun dapat memberikan pinjaman. Semua sawah yang dimiliki tetangganya bernasib sama dengan miliknya.

Tresno kemudian memutuskan untuk menjual sawahnya. Dengan pertimbangan seluruh keluarganya, sawah warisan itu dijual kepada kepala desa untuk membayar sisa pinjaman dan menjamin stok susu yang dibutuhkan anaknya. Dia tidak ingin anaknya kekurangan susu sehingga menghambat pertumbuhannya.

Pada bulan keenam kelahiran anaknya, uang hasil penjualan sawahnya mulai menipis. Tresno kembali dibingungkan oleh sumber uang yang secara berlanjut dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Dia mencoba bekerja menjadi buruh tani selama dua bulan sebelum akhirnya tersadar bahwa uang tabungannya masih terus terpakai untuk pembelian susu. Berhari-hari dia peras pikirannya untuk menemukan solusi keuangannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline