Ketika Wiji melayani pelanggan, konsentrasinya hanya dapat terbagi oleh satu hal, yaitu bayangan gelap yang biasanya menempel pada tumitnya. Bayangan yang disebabkan oleh cahaya matahari siang itu menjadi satu-satunya media yang digunakannya untuk menentuntukan waktu.
Baginya, setiap perbedaan panjang dan arah dari bayangan mewakili perubahan dari masing-masing waktu. Seperti halnya siang itu ketika bayangan tubuhnya berada tepat di sebelah timur tumitnya dengan panjang sekitar satu jengkal, dia akan menafsirkannya sebagai sebuah pertanda masuknya waktu sembahyang siang.
Mengetahui itu, dia akan melayani pelanggannya dengan lebih cepat dan bergegas untuk mengambil selembar kain warna hitam yang disimpan dalam laci untuk kemudian ditutupkannya ke gerobak. Setelah memastikan semuanya tertutup rapat sehingga tidak seekor lalatpun yang dapat hinggap di gelas, toples tempat sirup, dandang tempat pentol, bungkus plastik, dan sedotan, dia berjalan menuju tempat sembahyang yang tidak jauh dari sana.
Dia hanya membutuhkan waktu sekitar sepuluh menit untuk sampai di samping gerobaknya kembali di halaman SDN 04. Di samping gerobak itulah dia menghabiskan sebagian besar waktunya dengan tanpa beristirahat. Dia tidak pernah pulang sebelum dagangan pentolnya habis.
Di rumah, dia memiliki sebuah jam dinding yang terpasang pada ruang tamu. Jam yang didapatkannya dari toko Enci, teman kecilnya itu berbentuk bulat dengan warna latar hitam, serta angka dan jarumnya berwarna merah.
Dahulu istrinyalah yang meminta agar dia membeli jam dan dipasang di dinding ruang tamu dekat dengan foto pernikahan mereka. Kata istrinya, " Kita membutuhkan jam yang nantinya akan dipasang di samping foto pernikahan dan di atas foto keluarga kita jika kita sudah memiliki anak.
Dengan begitu kita akan selalu mengingat keluarga saat melihat jam. Biar kita dapat memanfaatkan waktu untuk keluarga kita dengan sebaik mungkin." Berkat permintaan itulah, dia mendatangi toko sahabatnya Enci yang menjual peralatan rumah tangga di perempatan jalan raya dekat gang rumahnya saat perjalanan pulang dari berjualan.
Enci yang saat itu mengatahui dirinya menanyakan tentang jam dinding kepada salah seorang karyawannya segera mendekat sambil memegang telinganya. "Eh, apa tidak salah kamu berencana membeli sebuah jam dinding?" Enci tertawa dengan kepala menengadah ke atas dan mulut terbuka lebar.
Suaranya terdengar ke seluruh ruangan tokonya hingga menyita perhatian semua pelanggan dan karyawannya. "ini istriku yang minta." Dia berbisik. Rasa malu membuatnya tidak mampu mengeluarkan kata-kata dengan keras. "Aku kira namamu sudah bukan lagi Wiji, hingga membutuhkan jam."
Enci tertawa geli. Enci kemudian memanggil salah seorang karyawannya dan memintanya untuk mengambilkan jam dinding terbaik yang dia punya untuk sahabatnya. " Anggap ini sebagai kado pernikahanmu." Enci tersenyum tipis.
Seiring berjalannya waktu, istrinya justru semakin jarang menyaksikan jam dinding itu. Bahkan setelah jaman berjalan dan gawai menjadi kebutuhan pokok, istrinya sama sekali tidak pernah memandang jam dinding itu. Memang jauh sebelum itu, istrinya masih sering memandangi jam.