Lihat ke Halaman Asli

Sudahkah Kita Menjadi Motivator Terbaik bagi Anak-anak Kita?

Diperbarui: 24 Juni 2015   05:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beauty. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kisah seorang bocah berusia empat tahun, ia dikatakan tuli dan bodoh di sekolahnya (meskipun sebenarnya tidak ada anak yang bodoh, karena setiap anak unik dan tidak terbandingkan). Suatu hari, anak itu pulang membawa secarik kertas dari guru. Ibunya membaca tulisan di kertas tersebut, “Tommy, anak Ibu sangat bodoh. Kami minta Ibu untuk mengeluarkannya dari sekolah.” Sang Ibu terhenyak membaca surat itu, namun juga memiliki motivasi yang luar biasa untuk anaknya. Ia meneguhkan tekad, “Anakku Tommy, bukan anak yang bodoh. Aku sendiri yang akan mendidik dan mengajar dia.”

Bocah kecil bernama Tommy tersebut tumbuh menjadi seorang Thomas Alva Edison, salah satu penemu terbesar di dunia. Dia hanya bersekolah sekitar tiga bulan, dan secara fisik agak tuli. Berkat dorongan dan motivasi Sang Ibu, kekurangannya tidak menjadi batu penghalang untuk terus maju dan berhasil.

Tidak banyak orang yang pernah mendengar dan mengenal Nancy Matttews. Seorang motivator unggul dunia, yang tidak menyerah begitu saja dengan pendapat pihak sekolah terhadap anaknya. Nancy memutuskan untuk menjadi guru pribadi bagi pendidikan Edison di rumah. Dia menjadikan putranya sebagai orang yang memiliki kepercayaan bahwa dirinya berarti. Nancy memotivasi dan memulihkan kepercayaan diri Edison. Ini sangat berat baginya, namun keterbatasan tidak sekalipun membuatnya berhenti dan menyerah.

Thomas Alva Edison menjadi seorang penemu dengan 1.093 paten penemuan atas nama dirinya. Siapa sangka bocah tuli dan bodoh yang pernah diminta keluar dari sekolah bisa menjadi seorang jenius? Jawabnya adalah ibunya. Nancy berhasil memunculkan yang terbaik dalam diri anaknya, Thomas Alva Edison.

Bagaimana kisah seorang ibu yang mampu memotivasi putrinya? Saat usia tiga tahun Sang Putri belum bisa memegang benda apa pun. Menginjak usia tujuh tahun, kedua tangannya masih belum bisa berfungsi sempurna, bahkan memegang pensil pun tidak mampu. Kakinya pendek, hanya sebatas lutut. Dialah Hee Ah lee. Sejak lahir mempunyai kelainan bentuk tangan dan kaki yang langka. Istilah medisnya adalah ectrodactyly, dimana terdapat celah di tempat metacarpal jari seharusnya berada. Belahan ini menyebabkan tangan atau kaki memiliki penampilan seperti capit. Oleh karena itu juga dinamai “sindrom capit lobster”.

Ibu Hee Ah Lee bukan orang biasa. Ia mampu membangun sang buah hatinya. Dia adalah Woo Kap Sun. Bersama seorang guru pianonya melatih Hee Ah Lee tanpa henti. Memberi dorongan dan motivasi untuk menjadikan Hee Ah Lee seorang pianis yang luar biasa. Kesabaran dan ketekunan seorang ibu membuahkan keajaiban yang luar biasa. Walau salah satu guru pianonya mengatakan bahwa sia-sia saja latihan ini, lebih baik berhenti karena sampai kapan pun Hee Ah Lee tidak bisa memainkan piano dengan baik. Woo Kap Sun tidak menyerah dan percaya pada pandangan-pandangan negatif. Berapa kali Hee Ah Lee berganti guru piano, sampai akhirnya menemukan yang lebih sabar.

Akhirnya, seorang Hee Ah Lee dapat meluncurkan album perdananya dengan sepuluh komposisi piano permainan jarinya pada 25 Juni 2005. Ketekunan serta dorongan dari Sang Ibu membuahkan hasil. Kini siapa yang tidak kenal He Ah Lee? Berbagai penghargaan istimewa pun diraihnya.

Orangtua, bagaimana dengan kita? Sudahkah kita menjadi motivator terbaik bagi anak-anak kita?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline