Dilaporkan dari Bank Dunia, anak-anak di beberapa kawasan negara Asia Timur dan Pasifik tidak memiliki kemampuan pendidikan dasar walaupun mereka menempuh sekolah dasar. Ternyata di Indonesia ketidakmampuan belajar atau learning poverty cukup tinggi. Ini disebabkan kualitas pendidikan masih tergolong rendah, khususnya di daerah pedesaan dan daerah miskin.
Terdapat 14 Negara dari 22 Negara di kawasan Asia Timur dan Pasifik yang memiliki tingkat learning poverty di atas 50%, antara lain Myanmar, Kamboja, Filipina, Laos, termasuk Indonesia. Sebagai Negara menengah atas Malaysia tercatat di atas 40% learning poverty-nya. Sangat berbeda jika dibandingkan dengan Negara-negara yang berpengasilan atas, seperti Jepang, Singapura, dan Korea Selatan yang hanya berkisar antara 3-4 learning poverty nya. (Republika)
Istilahlearning poverty digunakan untuk mengukur ketakmampuan seorang anak pada usia 10 tahun dalam membaca dan memahami bahan bacaan yang sesuai dengan usianya. Karena kegagalan dalam membekali anak dalam ketrampilan dasar akan menghambat kemampuan anak tersebut untuk memiliki ketrampilan di tingkat yang lebih tinggi.
Oleh karena itu, kemampuan dasar ini dianggap sebagai modal awal seseorang dalam mendapatkan pekerjaan serta keluar dari lingkaran kemiskinan, dimana pada gilirannya akan dapat mengangkat status dari Negara dengan berpendapatan menengah menjadi tinggi. Misalnya di SMPN 11 Kota Kupang, berdasarkan hasil asesmen kognitif awal, 21 pelajar diketahui tidak bisa membaca dan menulis, parahnya ada yang tidak bisa membedakan huruf abjad. (Tribun News).
Kondisi ini tentu saja sangat memprihatinkan, sebab seharusnya pada usia jenjang SMP mereka sudah mampu memahami bacaan. Namun nyatanya, bagaimana bisa memahami, jika membaca saja masih mengalami kesulitan? Lantas, apa yang salah dengan hal ini dan bagaimana agar Indonesia dapat keluar dari krisis pendidikan yang semakin hari terus menurun? Setidaknya ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan tingginya learning poverty ini, yaitu:
Pertama, Kualitas Guru yang Rendah
Berdasarkan hasil riset Bank Dunia pada tahun 2020, kuwalitas guru di Indonesia masih terkategori rendah, baik dalam kompetensi maupun kemampuan mengajarnya. Di antara faktor penyebabnya yaitu rendahnya gaji guru serta minimnya program pelatihan dan pengembangan.
Fakta memperlihatkan masih banyak guru honorer yang dibayar dengan gaji yang sangat minim, terutama di pedesaan dan daerah yang tergolong miskin. Hal ini tentu saja akan menyebabkan para guru tidak fokus dalam mengajar dikarenakan harus mencari penghasilan sampingan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Sehingga inilah yang mengakibatkan guru kehilangan gairah untuk terus berinovasi dalam pengajaran.
Selain itu juga, minimnya program pelatihan dan pengembangan untuk para guru, terutama guru-guru di pelosok yang masih gagap terhadap teknologi. Sedangkan pengajaran pada era digitalisasi pada saat ini memaksa mereka harus adaptif terhadap teknologi. Ini juga akan menjadikan kualitas kompetensi guru kian rendah.
Kedua, Kurikulum Sekuler