Lihat ke Halaman Asli

Erwin Ricardo Silalahi

Warga Negara Indonesia

KPK Tersesat di Jalan yang Lurus

Diperbarui: 7 November 2017   17:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

KPK Tersesat di Jalan yang Lurus

 

Oleh: Erwin Ricardo Silalahi

(Wakil Ketua Umum Depinas SOKSI)

 

Sorotan miring terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi terus terjadi seiring dengan beberapa blunder konstitusi yang dilakukan lembaga anti rasuah ini.  Blunderkonstitusi itu diantaranya tampak pada sikap ngototKPK untuk tidak menanggapi panggilan Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket KPK yang dibentuk DPR RI dalam rangka pengawasan sebagai mana tugas konstitusional yang dimiliki DPR.

Demi menghindari panggilan Pansus Hak Angket KPK, para komisioner KPK dengan piawai menggunakan argumentasi bahwa KPK masih menanti putusan Mahkamah Konstitusi sebagai pijakan hukum untuk menjawab panggilan Pansus Hak Angket.  Apapun alasannya, ketidakhadiran KPK dalam rapat-rapat dengan Pansus Hak Angket KPK sesungguhnya sudah merupakan pembangkangan terhadap konstitusi mengingat DPR merupakan lembaga tinggi negara yang mengemban kewenangan konstitusional.

Sikap KPK yang mengangkangi kewajiban konstitusional DPR melalui Pansus Angket KPK merupakan fenomena buruk dalam kehidupan bernegara, yang pada gilirannya berpotensi menimbulkan kekacauan konstitusi (constutional chaos), yang pada akhirnya bisa memicu terjadinya negara gagal (failed state). Kekacauan praktek konstitusi sebagaimana yang dipertontonkan KPK merupakan cara paling telanjang untuk mengebiri bahkan meremukkan kewibawaan konsitusi. Aneh bin ajaib, sebuah lembaga yang bersifat sementara (ad-hoc)seperti KPK, justru bisa seenaknya melakukan pembangkangan terhadap konstitusi negara.

Jika dicermati, belakangan ini KPK cenderung tidak lagi memainkan peran dan fungsinya sebagai lembaga hukum. Sebaliknya, tingkah-polah KPK justru lebih mirip manuver-manuver politik yang memicu terjadinya instabilitas politik. Situasi instabilitas politik ini dapat dibandingkan dengan situasi krisis politik di rentang waktu 1955 sampai 1959, saat dimana persaingan bahkan gesekan dan benturan ideologis antar partai-partai kental mewarnai jalannya kekuasaan pemerintahan.

Situasi buruk praktek kehidupan bernegara pada rentang waktu 1955-1959 itu, sampai-sampai membuat Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sebagai langkah ekstra-konstitusional untuk memberlakukan UUD 1945. Berbeda tetapi mirip-mirip, situasi instabilitas politik di negeri kita dewasa ini justru dipicu oleh blunder konstitusi yang dilakukan KPK. Sesungguhnya 'idelogi' apa yang sedang dimainkan oleh KPK sehingga muncul kegaduhan sampai memicu krisis kehidupan bernegara?

Modus Basi OTT

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline