Lihat ke Halaman Asli

Ke Baduy, Sekali Lagi!

Diperbarui: 6 April 2016   22:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terik matahari menyambut kedatangan kami di tanah ini. Ada rasa haru sekaligus rindu ketika saya menjejakkan kaki di sini. Nostalgia tak terelakan. Semringah pun terpancar di wajah. Enam tahun berlalu, rasanya ada yang berubah dari wajahmu. Baduy, saya kembali! 

Dulu dan sekarang

Ngeri! Itulah kesan yang sempat muncul ketika saya akan berkunjung ke Baduy Dalam, tepatnya ke Kampung Cikeusik. Pasalnya, di perjalanan kali ini, saya mengajak bayi saya yang berusia 10 bulan. Ada rasa was-was untuk menghabiskan malam atau sekadar bertamu. Meski demikian, keinginan untuk bersilaturahim dengan sebuah keluarga di kampung ini pun mampu menepis kesan mistis yang selama ini ada di pikiran.

Menjejak di Cijahe, saya merasa pangling. Dulu, desa ini terbilang sepi. Hanya terdapat 2-3 warung yang menjual kebutuhan pokok sederhana. Tak banyak orang lalu lalang. Hanya satu dua yang terlihat duduk-duduk manis di kursi depan rumah. Kini, Desa Cijahe mulai ramai. Bale-bale berdiri di sana-sini. Rumah yang dulu berfungsi sebagai tempat tinggal kini mulai bertambah fungsi sebagai kios suvenir, WC umum, atau sekadar tempat nongkrong para sopir yang menunggu penumpangnya selagi berkeliling di Baduy Dalam. 

Lahan luas yang dulu hanya ditempati oleh rumput hijau, kini juga ditempati oleh mobil-mobil. Ada mobil yang sekadar singgah mengantar tamu, ada pula yang lantas parkir berjam-jam. Tak hanya itu, gubuk sederhana bertuliskan “pangkalan ojek” pun ikut meramaikan desa yang menjadi “pintu masuk” Baduy di wilayah selatan ini. Ini artinya, Baduy semakin populer sebagai tujuan wisata. Tak hanya “gerbang utama” Ciboleger yang dikenal oleh pengunjung, “jalan tikus” Cijahe pun diam-diam mulai diketahui. Tak heran, melalui Ciboleger, Baduy Dalam ditempuh dalam waktu berjam-jam berjalan kaki. Sedangkan melalui Cijahe, Baduy Dalam hanya berjarak sepanjang jembatan bambu.  

Benar saja. Geliat Baduy semakin ketara. Setelah menyeberangi jembatan bambu khas Baduy yang menjadi perbatasan wilayah Baduy dengan luar Baduy, kami disambut oleh plang “Selamat Datang di Baduy”. Tak sekadar plang, kini berdiri sebuah “pos” jaga yang dipenuhi oleh masyarakat setempat, baik orang Baduy asli yang sedang duduk-duduk maupun masyarakat luar Baduy yang akan menjadi guide. Setiap tamu yang datang diharuskan mengisi buku tamu, mengemukakan tujuan, serta mengisi kotak sumbangan—seikhlasnya. Setelah itu, seorang guide siap mengantarkan.

Berbeda dengan tamu kebanyakan, saya dan suami memutuskan untuk tidak menyewa guide karena kami masih ingat betul rute menuju rumah Aki Dainah—rumah yang menaungi saya ketika melakukan penelitian selama sepuluh hari sepuluh malam. Karena tinggal di rumah itu pula saya bisa menjadi sarjana di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia.

[caption caption="mendaki sambil menggendong"][/caption]Lagi, saya dan suami melintasi jalan setapak yang dulu kami lalui. Selain bangunan-bangunan baru dan keramaian yang menyertainya, jalan setapak ini juga berubah. Jalan tanah ini menjadi lebih lebar sehingga jalur semakin terbuka. Di beberapa tempat, ditanam pagar pembatas dan anak tangga yang dibuat dari potongan-potongan bambu sehingga memudahkan kita berjalan, terutama saat tanah menjadi licin akibat hujan. Tak hanya itu, ilalang yang dulu tumbuh di kanan-kiri kini tak terlihat lagi. Hanya ada ladang terbuka sehingga mata bisa jauh memandang. Cikeusik mulai tertata.

*

Tiba di sebuah saung[1], kami disambut sepasang suami istri paruh baya yang wajahnya sudah saya rindukan. Sayang, mereka tak lagi ingat dengan saya. Memang, saya sudah mengantisipasi hal ini sehingga saya membawa beberapa lembar foto agar mereka bisa mengingat. Benar saja! Melihat foto-foto tersebut, mereka pun mulai mengingat saya. Nostalgia pun kembali terulang. Kini tak hanya lari di kepala, melainkan menjadi bahan perbincangan di antara kami.

Bersama si bayi, saya kembali menempati teras depan. Ruang inilah yang menjadi “kamar” kami selama tiga hari ke depan. Berbeda dengan saat menjadi mahasiswa yang cenderung cuek tidur di mana saja, kali ini saya memikirkan si bayi yang harus tidur di ruang terbuka saat malam hari. Pasalnya, bukan alas tidur dan selimut yang saya pikirkan, melainkan teman tidur kami: ayam, burung, kucing, dan anjing. 

Ya…di teras ini kami tidur bersama satu ekor burung beo dalam sangkar yang terus berbicara “ngopi bos” sepanjang hari, empat ekor anak kucing yang terus lalu lalang dan berusaha tidur di selimut kami, serta entah berapa banyak ayam yang sesekali terbang dan bertengger di bambu yang melintang tepat di atas kepala, lantas berkokok sekenanya. Belum lagi suara dengusan anjing yang ada di kolong saung. Beruntung, si bayi tetap nyenyak selama tidurnya. Kekhawatiran akan hal-hal “aneh” yang akan mengganggu si bayi pun terbantah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline