Lihat ke Halaman Asli

Kesalehan Sosial dan Nasib Buruh

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Tumbuh pesatnya mega market saat ini ditengah masyarakat seperti supermarket, hypermarket, mini market yang bermunculan dimana - mana layaknya jamur yang tumbuh di musim hujan, hadir dengan kesan memberikan nilai kenyamanan bagi para konsumen. Mega market tersebut biasa hadirdi tempat tempatyang tadinyapusat perbelanjaan dan aktivitas bisnissekarang merambah semua lini kawasan dan pemukiman.

Kehadiran mega market seolah tidak mau tahu dan pedulidengan para pedagang kecil yang terancam gulung tikar. Jika dilihat dari sisi bisnis dan professional dalam menjalankan bisnis hal tersebut bukanlah hal yang salah dan bertentangan apalagi dilihat dari sisi feasibility study dan kemampuan dana yang mereka miliki adalah hal yang wajar namun apabila kita melihat dampak dari kemunculannya di tengah tempat perbelanjaan masyarakat kecil maka akan ada pihak yang terdzalimi. Ketika para pedagang kecil gulung tikar, tanpa kita peduli berapa jumlah keluarga yang mereka miliki dan ketika sumber pengasilan mereka berhenti, berapa jumlah keluarga yang mengalami kesulitan ekonomi.

Dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat saat ini begitu kental terasa nilai – nilai individualis mempengaruhi para pelaku ekonomi tanpa memiliki nilai nilai empati, peduli, dan care terhadap kehidupan orang lain. Kebebasan dalam berekonomi bukan sesuatu yang haram namun kebebasan tersebut dibatasi dengan kebebasan orang lain berupa hak untuk mendapatkan kesejahteraan dan kemaslahatan. Kebebasan itu masih berlaku sepanjang tidak menimbulkan kezadliman dan eksploitasi terhadap kepentingan orang lain.

Menurut Adam Smith setiap individu mempunyai hak kebebasan mutlak dalam menjalankan perannya sebagai agen ekonomi. Sehingga apabila diartikan maka kebebasan mutlak ini dapat dijadikan sebagai alasan untuk memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan dengan menggunakan berbagi cara. Analogi tersebut berkembang bahwa jika setiap indvidu menjalankan perannya secara otomatis akan tercipta kesejahteraaan social dalam masyarakat namun realitas tersebut belum tentu dapat bersifat absolute adanya.

Pendapat tersebut akan mendorong dan memicu kehidupan yang bebas nilai, sehingga ketika massive dianut dalam masyarakat maka kehidupan dalam berekonomi tidak lagi memandang moral values karena hanya mementingkan nilai materi semata.

Kadang kala para pelaku ekonomi yang memiliki modal besar berkaca mata kudaterhadap nilai nilai etika dalam berbisnis dan moral values semata mata hanya kepentingan pribadi untuk hidup sejahtera dan makmur sendiri sehingga akan menimbulkan sifat individual hingga rela melakukan eksploitasi terhadap pelaku ekonomi lain hingga pada akhirnya hanya pemilik modal( kapitalis ) saja yang bisa bertahan maka hukum rimba berlaku dalam berekonomi.

Peran negara ( pemerintah ) sangat penting ketika kegiatan ekonomi berjalan dengan banyak pihak yang terdzalimi dan tereksploitasi, pemerintah harus hadir dengan memberikan policy yang mempertimbangkan azas maslahah bagi kepentingan orang banyak tidak hanya bagi kepentingan pemilik modal ( pengusaha besar ). Apa yang pernah dinyatakan oleh Adam Smith bahwa negara jangan ikut campur dalam kegiatan ekonomi atau meminimalisasi perannyatidaklah berlaku secara mutlak.

Menurut ekonom neoklasik salah satu indikator kesejahteraan ekonomi adalah tingginya tingkat komsumsi masyarakat. Semakin tinggi tingkat komsumsi masyarakat maka semakin tinggi tingkat kesejahteraan masyarakat. Sehingga indikator ini akan menggiring masyarakat untuk memiliki paradigma komsumeris. Guna mendukung indikator tersebut maka ikonyang dapat mendorong manusia terjebak dalam budaya komsumerisme terus dibangun ditengah masyarakat seperti mal, meningkatkan iklan diberbagai media dan memunculkan figur yang mencerminkan dunia konsumerisme ( Djuawini.2010 )

Sebagai contoh bagaimana komsumerisme menjadi fenomena dalam kehidupan kita. Ada porsi makanan yang harga 1 juta bahkan lebih. Padahala dalam harga normal makanan kisaran Rp 20. 000 atau mungkin kurang, bersifat fatalitik itu tidak boleh karena mungkin makanan itu ada nilai lebih yang ditawarkan namun sesungguhnya bagaimana kita melihat sesuatu sesuai dengan esensi bukan dengan melihat tambahan atau aksesoris yang ditawarkan.

Menurut Sayyid Qutbh rasionalitas komsumen itu harus dibimbing dengan hidayah rabbaniyyah, aturan dan ketentuan yang telah diturungkan oleh Tuhan dalam dunia komsumsi. Secara rasional, bisa saja kita mengkomsumsi makanan seharga 1 juta apabila kita memiliki kelebihan uang namun rasanya ada yang hilang yaitu rasa untuk tidak berlebihan, bermewahan, dan menghamburkan uang namun disekitar kita masih banyak yang kekurangan dalam memenuhi makanan mereka.

Kesalehan Sosial dan Nasib Buruh Dalam Berekonomi

Fenomena kesenjangan social yang begitu besar antara si kaya dan si miskin, pengusaha besar dan pedagang kecil, serta buruh dan atasan menciptakan rasa miris akan ketidakadilan menggurita dalam masyarakat. Nilai empati, peduli terhadap kehidupan orang lain telah hilang ditelang modernitas yang salah kaprah yang menghilangkan nilai social budaya kita sesama manusia kepentingan pribadi berada diatas segalanya tidak peduli dengan kepentingan orang lain.

Dalam berekonomi nilai etika bisnis tetap menjadi arah dan landasan sehingga niat untuk menipu dan memanfaatkan pihak lain tidak terjadi dan akan menciptakan win win solutions , menurut pandangan para ekonom islam bahwa ekonomi islam memberikan solusi dalam berekonomi kerena kemunculan ekonomi islam adalah sebuah refleksi atas ke – kaaffah – an keislaman seseorang atau masyarakat sebabtidak ada satu ruang pun dalam kehidupan yang luput dari ketentuan islam karena nilai islam masuk dalam berekonomi dan memberikan warna dan mampu menciptakan kesalehan social yaitu perilaku orang-orang yang sangat peduli dengan nilai-nilai Islami, yang bersifat social dengansuka memikirkan dan santun kepada orang lain, suka menolong, dan seterusnya.

Di sisi lain, salah satu yang kurang mendapatkan kepedulian adalah nasib buruh Indonesia yang masih memprihatingkan, problematika perburuhan mulai dari rendahnya gaji (UMK/UMP/UMR), minimnya lapangan pekerjaan, rendahnya kualitas SDM, hingga memperlakukan buruh seolah robot dan budak tenaga kerja. May Day` (Hari Buruh Inernasional), yang antara lain ditandai aksi demo besar-besaran di Jakarta, serta beberapa kota besar di seluruh Indonesia menjadi cerminan tingkat kesenjangan social.

Masih adanya pola pemiskinan secara sistematis atas kaum buruhmerupakan refleksi atas pemahaman berekonomi yang mengekploitasi kebebasan berekonomi. Permasalahan ketenagakerjaan ini sejatinya terletak pada sistem kapitalisme yang sekarang diterapkan. Sistem yang tak manusiawi ini memang bukan habitat yang tepat bagi kaum buruh, namun habitat bagi kaum kapitalis. Paradigma kapitalisme memandang jika negara tidak bertanggung jawab sepenuhnya atas kesejahteraan rakyatnya, negara hanya sebatas pengatur. ( Mustofa, 2010 ).

Akutnya problematika perburuhan, maka perubahan dengan nilai kesalehan sosialpun menjadi sebuah keniscayaan seperti buruh dan pengusaha adalah pihak yang saling terkait tidak saling merendahkan atau menggantungkan kepentingan. Kaum buruh merupakan salah satu elemen bangsa yang juga menginginkan penghidupan yang layak, terpenuhi hak-haknya setelah tertunaikan kewajibannya.

Menurut DR. Yusuf Qaradhawi apabila terdapat muslim yang hanya menjalankan ketentuan islam secara parsialia telah keluar dari islam, sehinggasering kita jumpai sekelompok orang yang tekun beribadat, bahkan berkali-kali haji misalnya, namun kelihatan sangat bebal terhadap kepentingan masyarakat umum, tak tergerak melihat saudara-saudaranya yang lemah tertindas.

Sebaliknya juga, sering dijumpai orang-orang Islam yang sangat concern terhadap masalah-masalah ummat, sangat memperhatikan hak sesamanya, kelihatan begitu mengabaikan “ibadat pribadinya”.

Menjalankan ajaran islam dalam berekonomi harus dalam totalitas kekaffahan, bukan parsial kesalehan pribadi semata. Dengan Semakin kendornya rasa keadilan sosial dalam berekonomi mensyaratkan pentingnya kembali membangun rasa keselehan sosial sebagai instumen terpenting dan adanya rasa peduli tanpa mengekpoitasi hak orang lain demi mencapai keuntungan pribadi semata.

diposting sebelumnya di Fajar Senin, 9 Mei 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline