Lihat ke Halaman Asli

Kedaulatan Ekonomi Dijajah WTO

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Pertemuan organisasi perdagangan internasional yang tergabung dalam World Trade Organization (WTO) yang dilaksanakan di Bali pada tanggal 3-6 Desember 2013. WTO merupakan salah satu pilar pendukung ekonomi kapitalisme global bersama dengan IMF dan menjadi otak dalam setiap skema perjanjian perdagangan internasional dengan berperan dalam pengelolaan perjanjian multilateral, melakukan negoisasi, mengatur dan mengintervensi kebijakan perdagangan setiap negara yang menjadi anggota WTO dengan tujuan mendukung liberalisasi perdagangan antar negara dengan mengurangi dan menghapus berbagai hambatan yang dapat menganggu kelancaran arus perdagangan barang dan jasa.

Terdapat beberapa isu penting yang akan dibahas dalam agenda Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO IX putaran Bali seperti memuluskan agenda liberalisasi ekonomi nasional dalam bidang pertanian, perdagangan dan pembangunan.  Kesuksesan Indonesia menjadi tuan rumah dalam pertemuan mengindikasikan bahwa pemerintahan mempunyai komitmen tinggi dalam mendukung perdagangan bebas tanpa mempertimbangkan kerugian jangka panjang perekonomian nasional.

Ketimpangan Keputusan WTO

Keputusan WTO sesungguhnya perang akal-akalan negara maju terhadap negara berkembang untuk mendapatkan keuntungan yang tak terbatas atas kekurangan dan keterbelakangan ekonomi negera berkembang. WTO mendesain sistem perdagangan yang tidak adil, negara berkembang ditekan untuk membuka pintu perdagangan seluas-luasnya bagi negara maju dengan menghapuskan seluruh hambatan perdagangan, hambatan impor, baik itu hambatan tarif(tarrif barrier) maupun hambatan non-tarif(non-tarrif barrier). Sementara negara maju hanya memberikan peluang dan akses yang kecil terhadap produk barang dan jasa dari negara berkembang bahkan cenderung tertutup dengan regulasi yang sangat ketat bahkan WTO menutup mata atas ketimpangan tersebut.

Di sisi lain, negara berkembang akan sangat sulit untuk berkompetisi dengan negara maju, karena kalah dari segi sumber daya, manajerial dan teknologi. Dalam kompetisi perdagangan yang didesain WTO ala globalisasi ekonomi mensyaratkan akan kebutuhan produk yang memiliki standard produk yang tinggi dengan basis pengembangan berdasarkan riset dan teknologi oleh manajemen yang modern. Kondisi ini masih belum merata dalam negara berkembang seperti Indonesia dan hanya perusahaan multinasional yang mampu bersaing dan mendominasi perdagangan internasional. Tentunya, akan merugikan bagi pelaku usaha kecil dan menengah nasional sehingga ekonomi akan dikuasi oleh asing.

Globalisasi perdagangan merupakan senjata dan batu loncatan bagi korporasi-korporasi untuk menguasai perdagangan global dan sangat timpang dari cita-cita awal berdirinya WTO yang mendukung kemajuan dan perlindungan bagi kepentingan negara-negara miskin. Akibat dari liberalisasi dan globalisasi ekonomi telah mengakibatkan setengah dari penduduk di dunia saat ini hidup dibawah garis kemiskinan, negara negara berkembang dikontrol negara-negara maju dengan 90 % investasi dikuasai oleh tangan-tangan kapitalis pemilik perusahaan raksasa Eropa dan AS.

Hal ini didukung oleh laporan United Nations Conference on Trade and Development (UNTAD pada Juli 2012 bahwa “data dan fakta perputaran liberalisasi perdagangan dan globalisasi tidak hanya menghasilkan ketimpangan dalam distribusi manfaat dan memperlebar kesenjangan antara negara maju dan berkembang, tapi bahkan juga meningkatkan ketimpangan pendapatan dalam negeri itu sendiri”.

Hilangnya Kedaulatan Ekonomi

Menjalankan keputusan WTO akan merugikan dan menghilangkan kedaulatan ekonomi nasional. Berdasarkan pengalaman Indonesia, sejak menjadi pengikut setia IMF dan WTO dalam upaya menghilangkan subsidi pertanian telah menjadi sektor pertanian rapuh dan hancur, akibatnya hingga saat ini sektor pangan lokal merugi dan tersingkirkan sehingga produk pangan impor menguasai sektor pangan nasional yang memiskinkan petani. Hampir semua kebutuhan pangan Indonesia didapatkan melalui impor: impor  impor gandum (100 persen), kedelai (78 persen), susu (72 persen), gula (54 persen), daging sapi, (18 persen), dan bawang putih (95 persen).

Di sisi lain, negara maju tidak berlaku adil dalam soal penghapusan subsidi ini. Sampai sekarang ini negara-negara maju masih memberi subsidi besar-besaran bagi sektor pertaniannya. AS, misalnya, pada tahun 2010, menggelontorkan US$ 130 miliar (sekitar Rp 1.430 triliun) untuk pertaniannya. Sementara di Eropa, pada tahun 2009, subsidi sektor pertanian mencapai US$ 106 milliar.

Pemerintah harus sadar dan membatasi WTO demi kedaulatan ekonomi nasional. Pertama, kebijakan WTO akan membawa ekonomi nasional terbius oleh ketergantungan impor. Pembukaan hambatan ekonomi dan pencabutan segala bentuk perlindungan ekonomi nasional akan membuat ekonomi jauh dari kemandirian oleh ketergantungan impor pangan dan impor bahan baku industri yang dapat mengakibatkan gap defisit perdagangan yang besar. Kedua, Ketergantungan impor oleh liberalisasi ekonomi akan mengakibatkan meningkatnya defisit neraca pembayaran. Resep WTO yang menuntut untuk meningkatkan utang dalam negeri dalam pembiayaan pembangunan akan semakin memperbesar defisit neraca pembayaran akibat pembayaran utang untuk impor, cicilan utang dan jatuh tempo. Ketiga, APBN akan semakin menyusut pemasukannya karena penghilangan bea keluar dan beas masuk secara otomatis akan mengurangi pendapat negara pada APBN sementara utang makin meningkat.

Oleh karena itu, jika keanggotaan dalam WTO hanya mengancam kedaulatan ekonomi nasional maka apa manfaatnya mempertahankan eksistensi WTO dalam investasi, perdaganagan, keuangan dan ekonomi nasional. Indonesia sudah saatnya mengambil pelajaran berharga dari kebijakan WTO dan menolak keras perdagangan bebas yang merugikan karena kenyataannya WTO hanya menjadi alat perpanjangan tangan kepentingan asing. Sebagaimana semangat Soekarno atas dominasi asing “Go to hell with your aid, Inggris kita linggis, Amerika kita setrika dan Australia kita usir”.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline