Lihat ke Halaman Asli

Memberantas Pernikahan Anak di Bawah Umur

Diperbarui: 30 Juni 2024   19:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pernikahan anak di bawah umur yang terjadi Indonesia semakin banyak terjadi dan telah menjadi sorotan publik. Pernikahan yang terjadi sebelum mencapai batas usia yang ditetapkan disebut sebagai perkawinan yang melibatkan individu yang masih muda atau anak- anak, sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 81 ayat 2 Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002. Bahwa "Anak- anak merujuk pada individu yang belum berusia 18 tahun, termasuk yang masih dalam kandungan" Ketika pernikahan terjadi di usia di bawah batas ini, disebut sebagai perkawinan di bawah umur. Sementara menurut BKKBN, perkawinan dini adalah ketika pernikahan terjadi sebelum usia reproduktif, yaitu kurang dari 20 tahun untuk wanita dan kurang dari 25 tahun untuk pria. 

Tentu saja hal ini menjadikan kekhawatiran bagi para orang tua karena pernikahan dini ini masih banyak terjadi hingga di tahun 2024 ini. Semakin banyak pernikahan anak dibawah umur yang terjadi, semakin banyak pula kasus perceraian yang terjadi, karena sering kali pernikahan anak dibawah umur ini hanya bertahan beberapa bulan saja dan parahnya sampai memiliki anak lalu mereka bercerai. Meningkatnya pernikahan dini dapat menjadi sebuah permasalahan kependudukan. Hal ini dikarenakan pernikahan dini membawa banyak dampak negatif pada berbagai aspek kehidupan. Pada aspek pendidikan, anak yang melakukan perkawinan dini umumnya akan ber- henti melanjutkan pendidikannya. Pernikahan dini seringkali menimbulkan siklus kemiskinan yang baru.

Penyebab tingginya akan pernikahan anak dibawah umur ini adalah ekonomi, pendidikan yang rendah, keinginan dari diri sendiri, pola asuh keluarga serta pergaulan yang bebas. Di tinjau dari faktor ekonomi, beban ekonomi pada keluarga sering kali mendorong orang tua untuk cepat- cepat menikahkan anaknya dengan harapan beban ekonomi keluarga akan berkurang, karena anak perempuan yang sudah nikah menjadi tanggung jawab, padahal itu seharusnya bukan menjadi solusi yang baik, karena minimnya pendidikan maka perekonomian juga akan minim, apalagi dengan menikah maka akan bertambah kebutuhan. 

Di tinjau dari faktor pendidikan yang rendah, Rendahnya tingkat pendidikan maupun pengetahuan orang tua, anak dan masyarakat, menyebabkan adanya kecenderungan untuk menikahkan anaknya yang masih dibawah umur dan rendahnya pendidikan mereka terhadap anak- anak mereka. Hal ini berdampak pada sikap orang tua yang merasa puas jika anak perempuannya menarik perhatian pria, tanpa memahami konsekuensi negatif dari pernikahan dini. Kurangnya pemahaman ini dapat mengakibatkan masalah serius dalam kehidupan mereka, termasuk risiko kesehatan fisik dan internal yang tinggi serta kesempatan pendidikan dan ekonomi yang terbatas. 

Orang tua yang tidak teredukasi mungkin tidak menyadari bahwa membiarkan anak mereka menikah muda dapat menghambat perkembangan sosial dan profesional mereka, serta mengurangi kemungkinan masa depan yang lebih cerah. Ditinjau dari pergaulan yang bebas tanpa pengawasan orang tua, sering kali banyak dijumpai anak smp sudah berpacaran, sangat disayangkan sekali gaya pacaran mereka sudah seperti orang yang sudah menikah. 

Wanita tidak sungkan untuk memeluk pinggang pria saat menaiki sepeda motor dan pada saat di tempat- tempat wisata mereka tidak sungkan untuk bergandengan tangan, serta menyanderkan kepala di bahu. Faktor utama penyebab terjadinya pernikahan dini yaitu kehamilan diluar nikah, padahal umurnya belum memasuki syarat untuk menikah namun karena sudah terjadi kehamilan maka mau tidak mau negara harus memberikan umur atau istilahnya sering disebut " beli umur " itu juga akan menyebabkan angka kemiskinan di Indonesia semakin tinggi sebab minimnya bekal sebelum melaksanakan pernikahan.

 Untuk mengatasi pernikahan anak dibawah umur ini sangat diperlukan adanya pembekalan pendidikan untuk anak remaja dan orang tua. Orang tua harus memperkenalkan undang- undang pernikahan, membimbing anak remaja dan menjelaskan tentang edukasi seks. Orang tua memang menentang peran yang sangat penting untuk masalah pernikahan anaknya. Seharusnya orang tua mengizinkan anak untuk berpacaran setelah lulus SMA. Maka itu akan menjadi salah satu upaya untuk mencegah pernikahan dini, Langkah- langkah yang dapat diambil termasuk memberikan pendidikan seksual komprehensif kepada remaja untuk meningkatkan kesadaran akan risiko dan konsekuensi pernikahan dini. 

Selain itu, memperkuat pendidikan ekonomi bagi perempuan dan keluarga muda dapat membantu mengurangi tekanan ekonomi yang mendorong pernikahan di usia yang terlalu muda. Penting juga untuk melakukan advokasi dan pendidikan masyarakat mengenai pentingnya menunda pernikahan hingga usia yang lebih matang. Pemerintah juga dapat berperan dengan mengadopsi kebijakan yang mendukung peningkatan usia minimum pernikahan. Dukungan psikososial dan penguatan hubungan orang tua- anak juga merupakan faktor penting dalam menciptakan lingkungan yang mendukung keputusan untuk menunda pernikahan. Upaya bersama dari berbagai sektor ini diperlukan untuk mencapai perubahan yang signifikan dalam mengurangi pernikahan dini di masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline